Senin, 26 Juli 2010

SBY harus perhatikan BOM 3 KG.

Akibat elpiji 3 kg sering meledak, pengguna lainnya menjadi trauma. Bagi rakyat kecil yang masih memakai elpiji seakan menjadi daftar urutan bom. Ini jelas rakyat dikorbankan oleh kebijakan konversi minyak tanah ke gas, konon lebih efesien dan terjangkau namun buktinya banyak memakan korban. Siapakah penanggung jawab nyawa-nyawa yang sudah melayang itu..? sampai detik ini saya melihat tidak ada afirmative action (tindakan pemaksaan) kepada pihak terkait oleh para advocate atau anggota parlemen untuk melindungi para keluarga korban dan meminta pertanggung jawaban. Tidak hanya korban yang masih hidup tapi juga nyawa seseorang harus dipertanggung jawabkan.
Ridho, anak laki-laki ibu Susi adalah salah satu contoh korban yang masih hidup dengan menyandang cacat permanen di bagian wajah dan organ tubuh lainnya. Begitu memilukan nasib Ridho yang masih kecil itu. Keberanian ibunya mendatangi istana seharusnya menjadi contoh bagi para penegak hukum. Susi yang datang sendiri ke istana membawa Ridho untuk menemui presiden langsung disambut rasa haru oleh seluruh rakyat Indonesia. Susi memiliki keberanian yang luar biasa sebaliknya wakil rakyat kita banci, penegak hukum kita impoten, dan pemerintah kita tak peduli. Saya bersedia mengawal para korban untuk meminta keadilan dan jaminan kesehatannya sampai mereka sembuh total. Begitu pula saya mengharapkan para keluarga korban lainnya memiliki keberanian seperti ibu Ridho supaya pemerintah ini sadar akan kecerobohannya.
Tindakan pemerintah adalah:
Pertama; Pemerintah harus tegas dan berani menindak Pertamina atas kesalahannya itu serta menarik semua tabung 3 kg yang sudah beredar di masyarakat. Ini lebih baik dari pada harus membiarkan rakyat trauma menjadi daftar ledakan selanjutnya. Kedua; konversi minyak tanah ke gas harus dicabut. Kembalikan harga minyak tanah seperti semula, harga minyak tanah yang mahal adalah rekayasa saja supaya masyarakat lebih memilih gas.
Ketika ada konversi, minyak tanah sengaja dibuat langka oleh sebagian oknum. Sehingga dengan terpaksa masyarakat menjadi memilih BOM 3 kg. bukan kesejahteraan yang diberikan malahan nyawa yang jadi taruhannya. Mengenaskian, menagis mendalam jika kita menjadi mereka yang ditinggalakan ayah ibunya. Seperti halnya Siti Nurhalimah yang lahir dipaksakan karena ibunya yang masih mengandung terbaring kesakitan akibat ledakan elpiji sementara suaminya sudah mendahuluinya meninggal dunia. Tak lama setelah Siti Nurhalimah dipaksakan lahir dengan jalan operasi, ibunya meninggal dunia. Sungguh tragis nasib sang bayi itu, begitu halnya korban-korban lainnya yang masih tersisa hidup dengan menyandang cacat permanen. Semoga kejadian ini bisa menjadi renungan dan pelajaran bagi kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar