Minggu, 08 Maret 2009

NUSYUS, SYIQAQ, DAN FUNGSI HAKAMAIN DALAM PENYELESAIAN MASALAH

Penadahuluan
Sebuah jalinan kasih sayang yang telah dibangun oleh mempelai laki-laki dan perempuan yang sah dengan bukti adanya ijab dan qabul dalam suatu pernikahan yang dihadiri minimal empat orang yaitu mempelai laki-laki, dua orang saksi, dan seorang wali dari pihak mempelai wanita sebagai syarat sahnya nikah, telah menjadi suatu ikatan yang kuat (misaqan ghalidla).
Pada saat itu pula, tiadalah niat pernikahan itu hanyalah untuk memenuhi kebutuhan hawa nafsu belaka, namun pernikahan itu dilangsungkan karena mengikuti sunnah Rasul semata dan untuk meneruskan keturunan.
Namun dengan berjalannya waktu, hidup itu tak selamanya indah seperti yang kita bayangkan. Dalam sebuah rumah tangga pun, sering terjadi percekcokan di antara suami istri. Adakalanya disebabkan oleh factor ekonomi yang kurang mencukupi kehidupan sehari-hari, dan ada kalanya factor perselingkuhan, dan lain sebagainya.
Kita pun sering melihat tetangga-tetangga yang tinggal di sebelah, kehidupan rumah tangganya yang kurang harmonis, sehingga istri seringkali durhaka (nusyuz) tidak taat kepada suami dan bahkan tidak mau tidur seranjang untuk digauli sebagaimana hak dan kewajiban suami istri yakni mengadakan hubungan sexual.
Hal ini perlu difahami betul, terutama bagi seorang suami, bagaimana menyikapi ketika istri sedang nusyuz. Tentunya dalam ajaran Islam, al-Qur'an telah mengaturnya sedemikian rupa tips-tips menghadapi istri yang sedang durhaka (nusyuz) sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Nisa' ayat 34. Dan fiqih pun memberikan penjelasan dengan panjang lebar tentang permasalahan tersebut.
Dengan diwahyukannya surat al-Nisa' ayat 34, agar seorang muslim memahami dan mampu bernbuat bijak jika terjadi permasalah rumah tangga. Seorang suami tidak boleh serta merta melukai istri dengan pukulan yang menyakitkan. Karena Islam tidak mengajarkan yang demikian, telah ada aturan yang baik dan benar ketika suami tengah menghadapi permasalahan seperti itu. Meskipun memukul istri itu dibenarkan dalam Islam, namun memukul yang tidak sampai melukai istri dan dengan niatan mendidik.
Ketika permasalahan yang dihadapi suami istri tak kunjung usai, belum menemukan jalan keluar, maka Islam pun telah mengatur dengan begitu rapi yaitu dengan mendatangkan dua hakim (hakamain) dari pihak suami maupun istri yang berfungsi untuk memberikan solusi atau jalan tengah ketika permasalahan itu sedang alot dari pasangan suami istri.
Pengertian Nusyuz
Nusyuz berarti durhaka, maksudnya seorang isteri melakukan perbuatan yang menentang suami tanpa alasan yang dapat diterima oleh syara’. Ia tidak menaati suaminya,atau menolak diajak ke tempat tidurnya.
Dalam kitab Fathual-Mu’in disebutkan bahwa termasuk perbuatan nusyuz, jika isteri enggan bahkan tidak mau memenuhi ajakan suami sekalipun ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu.
Ada beberapa perbuatan yang terrmasuk nusyuz yang dilakukan oleh isteri antara lain sebagai berikut :
1. Istri tidak mau pindah mengikuti suami untuk menempati rumah yang telah disediakan sesuai dengan kemampuan suami, atau istri meninggalkan rumah tanpa izin suami.
2. Apabila keduanya tinggal di rumah istri atas izin istri, kemudian pada suatu ketika istri melarangnya untuk masuk ke rumah itu dan bukan karena hendak pindah rumah yang disediakan oleh suami.
3. Istri menolak ajakan suaminya untuk menetap di rumah yang disedikannya tanpa alasan yang pantas.
4. Apabila istri bepergian tanpa suami atau mahramnya walaupun perjalanan itu wajib seperti haji, karena perjalanan perempuan dengan tidak suami atau mahramnya termasuk maksiat.
Membimbing istri yang sedang nusyuz
Apabila istri telah kelihatan durhaka terhadap suaminya, hendaklah suaminya itu mengajarnya menurut aturan-aturan yang ditentukan dalam agama, di antaranya sebagai berikut :
1. Menegur dengan kata-kata yang sopan dan lemah lembut serta secara peri kemanusiaan. Hendaklah memperingatkannya agar ia taat karena hal itu adalah kewajiban seorang istri kepada suaminya, kecuali bila suami menyuruhnya melakukan suatu kejahatan, atau melarang berbuat kebajikan, umpamanya mendengarkan pelajaran-pelajaran dan lain-lain. Dalam hal seperti itu tidak wajib mengikuti suami.
2. Menghentikan memberi nafkah selama ia tidak mau berhenti dari kedurhakaannya.
3. Mengasingkan diri dari tempat tidur pada waktu tidur, bila dengan kata-kata atau dengan penghentian pemberian nafkah, tidak juga menghentikan kedurhakaannya.
4. Memberikan pukulan yang tidak membahayakan, bila dengan pelajaran yang tiga macam itu, ia tidak juga mengerti.
Sebgaimana firman Allah swt dalam surat Al-Nisa’ ayat 34:
                                       •     
34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

[289] Maksudnya: tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290] Maksudnya: Allah Telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[291] Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama Telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.

Dalam memukul,janganlah sampai melukai badannya, jauhilah muka dan tempat-tempat lain yang mengkhawatirkan, karena tujuan memukul bukanlah untuk menyakiti, tetapi untuk memberi pelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpukan bahwa durhaka istri (nusyuz) itu ada tiga tingkatan:
1. Ketika tampak tanda-tanda kedurhakaannya suami berhak memberi nasehat kepadanya.
2. Sesudah nyata kedurhakaannya, suami berhak untuk berpisah tidur dengannya.
3. Kalau dia masih durhaka maka suami berhak memukulnya.
Ibnu Hajar berkata, “Dalam sabda Nabi yang mengatakan: orang-orang baik di antara kamu secara garis besar memukul itu dibenarkan, dengan motif demi mendidik jika suami melihat ada sesuatu yang tidak benar yang seharusnya istri harus taat. Tetapi jika dirasa cukup dengan ancaman, maka itu adalah lebih baik.
Apapun yang mungkin dapat sampai kepada tujuan yang cukup dengan ucapan, tidak boleh beralih kepada suatu perbuatan. Sebab terjadinya suatu tindakan, bisa jadi menyebabkan kebencian yang justru bertentangan dengan prinsip bergaul yang baik yang selalu dituntut dalam kehidupan berumah tangga. Kecuali dalam hal yang bersangkutan dengan kemaksiatan kepada Allah.
Persoalan
Bagaimana hukumnya seorang suami berdiam diri atau tidak mau berbicara kepada istri yang sedang nusyuz, haram ataukah makruh?
Dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama: menurut Imam Syafi’i, tidak berbicara kepada istri yang sedang nusyuz hukumnya tidak haram ketika tidak lebih dari tiga hari, jika lebih dari tiga hari maka suami berdosa. Kedua: menurut Imam Rafi’i, jika suami tidak berbicara dengan istri secara tidak disengaja maka tidak haram, namun jika memang disengaja maka hukumnya haram. Ibnu Rif’ah berkata, “letak perbedaan pendapat haram atau tidak itu ketika di atas tiga hari, adapun dalam waktu tiga hari hukumnya tidak haram.” Imam Nawawi menegaskan bahwa yang benar secara pasti adalah haramnya tidak berbicara lebih dari tiga hari, sesuai dengan hadis Nabi :

Yang artinya, tidak halal bagi orang muslim berdiam diri kepada saudaranya selama lebih dari tiga hari.
Pengertian Syiqaq dan dasar hukumnya
Syiqaq berarti perselisihan. Menurut istilah fiqih berarti perselisihan suami istri yang diselesaikan dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.
Dasar hukumnya ialah firman Allah dalam surat Al-Nisa’ ayat 35:
                  •     
35. Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam[293] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
[293] Hakam ialah juru pendamai.
Surat al-Nisa’ ayat 35 tersebut merupakan kelanjutan dari ayat 34 yang menerangkan cara-cara suami memberikan pelajaran kepada istrinya yang melalaikan kewajibannya. Apabila cara yang diterangkan pada ayat 34 telah dilakukan, namun belum juga membawa hasil yang diharapkan dan perselisihan terus memuncak, maka suami hendaknya tidaklah tergesa-gesa menjatuhkan talak, melainkan mengangkat dua orang hakam yang bertindak sebagai juru pendamai.
Perkara Syiqaq di Indonesia
Demikian halnya para ahli fiqih, maka pada Peradilan Agama di Indonesia juga terdapat dua pendapat dalam masa syiqaq. Pendapat yang pertama yang banyak dianut (hakam dengan arti wakil), kemudian pendapat kedua yang banyak penganutnya (hakam dengan arti hakim), bahkan Mahkamah Tinggi Islam mengikuti kedua pendapat ini, dalam keputusannya 12 januari 1939 nomor 3, dan tanggal 10 Maret 1951 nomor 6.
Akan tetapi sampai sejauh ini belum saja diketahui sikap Mahkamah Tinggi Islam apabila hakam-hakam yang ditunjuk ternyata tidak sanggup lagi mengambil keputusan. Selanjutnya ini Pengadilan Agama (PA) Daerah Istimewa Yogyakarta dalam surat keputusannya tanggal 10 Juni 1961 nomor 489 memberikan keputusan perceraian terhadap perkara syiqaq apabila dua orang hakam yang diangkat tidak mampu memberikan suatu keputusan.
Dengan keputusan ini, mampu menghindarkan kemungkinan-kemungkinan berlarut-larutnya perkara dan kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi suami istri yang sedang bersengketa, dan tidak memperburuk keadaan.
Sesudah tidak ditemukan lagi seluruh usaha dan cara, maka di saat itu seorang suami diperkenankan memasuki jalan terakhir yang dibenarkan oleh Islam, sebagai suatu usaha memenuhi panggilan kenyataan dan menyambut panggilan darurat serta jalan untuk memecahkan problema yang tidak dapat diatasi kecuali dengan berpisah. Cara ini disebut thalaq/cerai.
Islam sekalipun memperkenankan memasuki cara ini, tetapi membencinya. Tidak mensunnatkan dan tidak menganggap satu hal yang baik. Bahkan Nabi sendiri mengatakan
Yang artinya, “Perbuatan halal yang teramat dibenci Allah, ialah Thalaq.” (Riwayat Abu Daud).
Hakamain, Arti dan Tugasnya
Hakam artinya juru damai, jadi hakamain adalah juru damai yang dikirim oleh dua belah pihak suami istri apabila terjadi perselisihan antara keduanya, tanpa diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah di antara kedua suami istri tersebut.
Sekaitan dengan permasalahan di atas, maka Allah memberikan penjelasan di dalam surat al-Nisa' ayat 35. Sebagaimana dipaparkan pada paragraph di atas mengenai perbedaan pendapat di kalangan Mahkamah Tinggi Islam di Indonesia, para ahli fiqih pun berbeda pendapat dalam arti hakam yang disebutkan dalam ayat 35 surat al-Nisa' di atas.
Menurut Imam Abu Hanifah, sebagai pengikut Imam Hambali, dan Qaul Qadim dari Imam Syafi'I, hakam itu berarti wakil. Sama halnya dengan wakil, maka hakam tidak boleh menjatuhkan talak kepada pihak istri sebelum mendapatkan persetujuan dari pihak suami. Begitu pula hakam dari pihak istri tidak boleh mengadakan khulu' sebelum mendapatkan persetujuan dari pihak istri.
Menurut Imam Malik, hakam itu sebagai hakim, sehingga boleh memberikan keputusan sesuai dengan pendapat keduanya tentang hubungan suami istri yahg sedang berselisih itu, apakah ia akan memberikan keputusan perceraian atau ia akan memerintahkan agar berdamai kembali.
Pendapat yang diusung oleh Imam Abu Hanifah, bahwasannya yang mengangkat hakam adalah pihak suami dan pihak istri, sebagaimana sebagaimana disebutkan dalam surat al-Nisa' ayat 35.
Sedangkan pendapat yang dirumuskan oleh Imam Malik, bahwa yang mengangkat hakam ialah hakim atau pemerintah, dengan alasan karena ayat di atas ditujukan kepada seluruh muslimin. Maka dalam hal perselisihan suami istri, urusan mereka diselesaikan oleh pemerintah atau oleh hakim yang telah diberi wewenang untuk mengadili perkara tersebut.
Menurut suatu ruwayat dari Imam Syafi'I, 'Pernah datang pasangan suami istri (pasutri) kepada Ali r.a. dan beserta mereka ada beberapa orang lainnya. Ali menyuruh mereka untuk megutus seorang hakim. Kemudian berkata kepada keduanya, "Kamu tentu tahu, apa yang wajib kamu lakukan. Apabila kamu berpendapat bahwa kamu dapat mendamaikan mereka, cobalah lakukan. Dan jika kamu berpendapat bahwa keduanya lebih baik bercerai, perbuatlah."
Perempuan itu berkata,"Aku suka berhukum dengan kitab (hukum) Allah, dengan sesuatu yang dipikulkan atas diriku (cerai atau tidak cerai aku terima)". Berkata pula suami itu,"Adapun soal perceraian aku tidak mau." Ali berkata, "Engkau dusta, demi Allah hingga engkau mengakui seperti apa yang diakui oleh istrimu."
Menyimak keterangan di atas, nyatalah bahwa hak perdamaian terletak di tangan hakim itu untuk bercerai ataupun tidak. Kedua suami istri harus menerima keputusannya. Sedapat mungkin hakim itu ialah ahli yang lebih akrab dan banyak mengetahui perhubungan keduanya. Kalau tidak ada, boleh juga ahli yang agak berjauhan sedikit asal mereka dapat dipercaya.

Penutup
Ada beberapa kata kunci yang bisa kita petik dari makalah ini untuk memahami Nusyuz, Syiqaq, dan fungsi hakamain dalam penyelesaian masalah :
Nusyuz berarti durhaka, maksudnya seorang isteri melakukan perbuatan yang menentang suami tanpa alasan yang dapat diterima oleh syara’. Ia tidak menaati suaminya,atau menolak diajak ke tempat tidurnya.
Ketika istri sedang durhaka (nusyuz), maka ada beberapa langkah yang boleh dilakukan suami terhadap istri yakni mulai dari menasehati, tidak memberi nafkah, pisah ranjang, hingga suami diperbolehkan memukul istri namun dengan pukulan yang tidak melukai dan dengan niatan memberikan pelajaran.
Syiqaq berarti perselisihan. Menurut istilah fiqih berarti perselisihan suami istri yang diselesaikan dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.
Ketika permasalahan yang dihadapi suami istri masih menemukan jalan buntu, maka perlu dihadirkan dua orang dari pihak suami maupun istri yang disebut hakamain. Bisa jadi kedua orang tersebut dari kalangan keluarga mereka dan boleh juga memang hakim yang diberikan wewenang pemerintah untuk bertugas sebagai penengah perkara yang tengah dihadapai oleh suami maupun istri, sebagaimana ada beberapa pendapat tentang arti hakamain dalam surat al-Nisa’ ayat 35 yang telah dijelaskan pada paragraph di atas.

Daftar Pustaka :
 Abidin, Selamet dan Aminuddin. Fiqih Munakahat. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
 Abi Bakr, Taqiyu al-Din Imam ibn Muhammad al-Husaini al-Hasni al-Damasyqi al-Syafi’I. Kifayatu al-Akhyar. Pekalongan: Maktabah wa mathba’ah Raja Murah, tt. juz 2.
 Mas’ud, Ibnu dan Zaenal abidin. Fiqih Madzhab Syafi’I. Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000.
 Qardhawi, Yusuf. Halal dan Haram. Bandung: Jabal, 2007, cet.1.
 Rasyid, Sulaiman. Fiqih Islam. Jakarta: Al-Tahiriyah, 1976.

AYAT – AYAT TENTANG ZAKAT DAN INFAQ

A. PENDAHULUAN :
Zakat merupakan salah satu sendi pokok ajaran Islam. Bahkan Al-Qur'an menjadikan zakat dan shalat sebagai lambing dari keseluruhan ajaran Islam : Apabila mereka, kaum musyrik, bertobat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara-saudara seagama (QS 9:11)
Zakat merupakan salah satu ketetapan Tuhan yang menyangkut harta, bahkan shadaqah dan infaq pun demikian. Karena Allah menjadikan harta benda sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya, maka ia harus diarahkan guna kepentingan bersama. Manausia yang notabene berasal dari satu keturunan yaitu bapa Adam dan Ibu Hawa, memiliki pertalian darah antara satu dengan yang lainnya, dekat maupun jauh.
Perlu kita sadari bahwa hubungan persaudaraan tak hanya menuntut sekedar take and give (mengambil dan menerima) atau useful change (pertukaran manfaat), akan tetapi lebih dari itu yaitu memberi tanpa menanti sebuah imbalan, atau membantu tanpa dimintai bantuan. Apalagi jika mereka bersama hidup dalam satu lokasi.
Islam menyeru manusia untuk menginfaqkan sebagian harta dan bermurah hati serta dermawan. Sejatinya harta yang ada di tangan mukmin merupakan sarana untuk mendapatkan ridla Allah, bukan merupakan life's goal (tujuan hidup), sehingga dia bersemangat mencari dan menumpuknya, lalu dia gunakan untuk mengumbar kesenangan dan kepuasan syahwat.
Dalam makalah ini, saya ingin mengupas ayat-ayat tentang zakat dan infaq yakni: al-Taubah: 60 dan 103; al-An'am: 141 dan al-Baqarah: 267 dan 271.

B. PEMBAHASAN-PEMABAHASAN
I. Pengertian Zakat dan Infaq
Zakat adalah salah satu ibadah pokok dan termasuk salah satu rukun Islam. Secara arti kata zakat yang berasal dari bahasa Arab dari akar kata zaka mengandung beberapa arti seperti membersihkan, bertumbuh dan berkah. Yang sering terjadi dan banyak ditemukan dalam al-Qur'an dengan arti membersihkan. Seperti dalam surat al-Nur: 21 : "dan tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendakinya, dan Allah Maha Mendengar dan Mengetahui."
Digunakan kata zaka dengan arti "membersihkan" itu untuk ibadah pokok yang rukun Islam itu, karena memang zakat itu di antara hikmahnya adalah untuk membersihkan jiwa dan harta orang yang berzakat. Dalam terminology hokum syara', zakat diartikan : "pemberian tertentu dari harta tertentu kepada orang tertentu menurut syarat-syarat yang ditentukan."
Zakat itu ada dua macam. Pertama zakat mal (zakat harta). Kedua zakat diri yang dikeluarkan setiap akhir Ramadlan yang disebut juga zakat fitrah.
Infaq : kata infaq berasala dari akar kata nafaqa-yanfuqu-nafaqan-nifaqan, yang artinya "berlalu", "habis", "laris", "ramai". Kalimat nafaqa asy-syai'u artinya sesuatu itu habis, baik habis karena dijual, mati, atau karena dibelanjakan. Kalimat nafaqa al-bai'u nafaqan artinya dagangan itu habis karena laris terjual. Infaq yang berarti "menghabiskan" atau "membelanjakan" dapat berkenaan dengan harta atau lainnya, dan status hukumnya bisa wajib dan bisa sunat.
II. Hukum dan Dasar Hukum Zakat
Hokum zakat adalah wajib 'aini dalam arti kewajiban yang ditetapkan untuk diri pribadi dan tidak mungkin dibebankan kepada orang lain. Juga disebutkan dalam kitab fiqih madzahibul arba'ah yaitu zakat merupakan salah satu rukun Islam dan hukumnya fardlu 'ain bagi orang yang sudah sempurna syarat-syaratnya. Hokum wajib ini ditetapkan sejak tahun kedua dari hijrahnya Nabi Muhammad saw. Kewajiban zakat itu dapat dilihat dari beberapa segi :
Pertama : banayak sekali perintah Alah untuk membayarkan zakat dan hampir keseluruhan perintah berzakat itu dirangkaikan dengan perintah mendirikan shalat seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah: 43
   •        •    

"Dan dirikanlah shalat dan bayarkanlah zakat dan ruku'lah kamu beserta orang-orang yang ruku'."(QS. Al-Baqarah: 43).
Perintah Allah untuk berzakat itu disamping menggunakan lafadz zaka juga menggunakan kata lain, yaitu :
a. lafadz anfaqa seperti dalam sural al-Baqarah: 267
b. lafadz shadaqa seperti dalam surat al-Taubah: 60
c. lafadz atu haqqahu seperti dalam surat al-An'am: 141
ketiga lafadz tersebut di atas mengandung arti zakat.
Kedua : dari segi banyak pujian dan janji baik yang diberikan Allah kepada orang yang berzakat, di antaranya seeperti dalam surat al-Mukminun ayat 1 -4 :
   
     
     
  •  
"sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman; (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya; dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna; dan orang-orang yang menunaikan zakat."
Ketiga : dari segi banyaknya ancaman dan celaan Allah kepada orang yang tidak mau membayar zakat di antaranya seperti dalam surat Fussilat ayat 6-7:
"celakalah orang-orang yangmusyrik; yaitu orang-orang yang tidak mau membayar zakat." (QS. Fussilat: 6-7).
III. Jenis-Jenis Harta Yang Wajib Dizakati
a. Zakat Mata Uang, Emas, dan Perak.
Wajib mengeluarkan zakat emas dan perak, baik berupa mata uang, kepingan emas, maupun emas mentah, jika masing-masing benda tersebut sudah sampai satu nishab. Nishab emas yaitu ketika setelah mencapai dua puluh dinar dan sudah mencapai waktu satu tahun, maka zakat yang dikeluarkan adalah 1/40 yakni ½ dinar. Nishab perak yaitu ketika jumlahnya sudah sampai dua ratus dirham, maka zakatnya adalah sebanyak 1/40.
b. Zakat Perniagaan
Sebagian ulama` dari kalangan sahabat, tabi`in, dan para fuqaha` berpendapat bahwa wajib mengeluarkan zakat perniagaan, berdasarkan hhadis Nabi :



“setelah itu, sesunjgguhnya Nabi saw. menyuruh kami mengeluarkan (zakat) dari barang-barang yang kami sedioakan untuk perniagaan.”
Setiap orang yang memikliki barang perniagaan yang banyaknya mencukupi satu nishab serta telah berjalan dalam masa satu tahun, hendaklah ia menghitung harganya pada akhir tahun lalu ia mengeluarkan zakatnya, yaitu 1/40 dari harga tersebut.
Harga perniagaan tidak wajib dizakati kecuali kecuali dengan empat syarat yaitu : 1) Kepemilikan mutlak, 2) barang terswebut untuk diperdagangkan, 3) Nilainya telah mencapai nishab, yaitu minimal nishab emas atau perak, 4) Mencapai haul.
Jika harta perniagaan telah memenuhi syarat-syarat di atas, maka wajib dizakati dari nilai barangnya. Bila di samping itu ia memiliki uang tunai, emas, atau perak, haruslah ia tambahkan pada nilai harga barang tersebut, untuk menyempurnakan nishabnya.
c. Zakat Tanaman dan Buah-buahan
Allah swt. Telah mewajibkan zakat tanaman dan buah-buahan berdasarkan firman-Nya, QS. Al-Baqarah: 267
                           •    
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang keluarkan dari bumi untuk kalian, dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk lalu kalian nafkahkan daripadanya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya, Maha terpuji." {QS. Al-Baqarah: 267).
Dalam ayat tersebut zakat disebut sebagai nafkah. Pada masa Rasululllah saw. jenis tanaman yang dipungut zakatnya adalah: gandum, padi, kurma, dan anggur kering.
Hasil pertanian dari jenis biji-bijian dan buah-buahan wajib dizakati jika memenuhi tiga syarat: 1) Tanamannya dari jenis yangdapat ditakar dan dapat disimpan seperti gandum dari jenis biji-bijian, dan seperti anggur dan korma dari jenis buah-buahan. Adapun dari jenis tanaman yang tidak bisa ditakar dan tidak dapat disimpan seperti sayur mayor dan yang sejenisnya mka tidak wajib dizakati. 2) Sampai nishab, yaitu: 653 kg atau lebih. 3) Tanaman tersebut dimiliki oleh orang yang wajib zakat pada saatnya wajib mengeluarkan zakat, adapun waktu wajib mengeluarkan zakatnya adalah ketika telah tampak hasil yang baik, yaitu ketika buah-buahan telah mulai menguning atau memerah, dan ketika biji-bijian telah padat berisi dan mulai mengering.
Kadar zakat untuk hasil pertanian adalah sepuluh persen (10%) apabila diari tanpa mengeluarkan tenaga, misalnya: pengairannya dengan air hujan, atau air sungai. Dan lima persen (5 %) apabila diairi dengan cara mengeluarkan biaya dan jerih payah, seperti: menggunakan air yang diambil dari sumur atau semisalnya.
d. Zakat Ternak
Ada beberapa hadis sahih yang menegaskan wajib mengeluarkan zakat dari komoditas unta, sapi, dan kambing. Para ulama bahkan telah sepakat bahwa wajib zakat pada binatang ternak.
Dalam kewajiban zakat ternak itu disyaratkan sebagai berikut :
1. Mencapai satu nishab.
2. Berlangsung selama satu tahun.
3. Hendaklah ternak tersebut merupakan hewan yang digembalakan. Artinya, makan rumput yang tidak memerlukan biaya sepanjang waktu setahun itu.
IV. Ayat-Ayat Tentang Zakat dan Infaq
a. QS. Al-Taubah: 60
                         
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orag fakir, orang-orang miskin, para pengurus zakat, paramu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allahmaha mengetahui lagi maha bijaksana. (QS. Al-Taubah: 60)


Penafsiran Kata :
As-Sadaqah : ialah zakat yang diwajibkan atas uang, binatang ternak, tanaman, dan perniagaan.
Al-Faqir : orang yang mempunyai harta sedikit, tidak mencapai nishab (kurang dari 12 pound).
Al-Miskin : orang tidak punya, sehingga dia perlu meminta-minta sandang dan pangannya.
Al-Amil 'alaiha : orang yang diserahi tugas oleh sultan atau wakilnya untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya.
Al-Mu'allafatu qulubuhum : orang-orang yang dikehendaki agar hatinya cenderung atau tetap kepada Islam.
Fir-Riqab : untuk berinfaq dalam menolong budak-bidak, guna membebaskan mereka dari perbudakan.
Al-Gharimin : orang-orang yang mempunyai hutang dan tidak sanggup membayarnya.
Fi Sabilillah : di jalan untuk mencapai keridaan dan pahala Allah. Yang dimaksud ialah: setiap orang yang berjalan di dalam ketaatan kepada Allah dan di jalan kebaikan, seperti orang-orang yang berperang, jama'ah haji yang terputus perjalanannya, dan mereka tidak mempunyai sumber harta lagi, dan para penuntut ilmu yang faqir.
Ibnus-Sabil : musafir yang jauh dari negerinya dan sulit baginya untuk mendatangkan sebagian dari hartanya, sedangkan dia kaya di negerinya tetapi faqir di dalam perjalanan.
Faridlatun minallah : Allah mewajibkan hal itu secara mutlaq, tanpa seorang pun yang ikut serta dalam mewajibkannya.
Penjelasan :
Penggunaan Zakat
Ada delapan macam orang yang berhak diberi zakat, yaitu :
1. Faqir : orang yang mempunyai harta sedikit, tidak mencapai nishab. (kurang dari 12 pond)
2. Miskin : keadaan mereka lebih buruk daripada orang-orang faqir, sebagaimana firman Allah : "Atau orang miskin yang sangat fakir." (Al-Balad, 90: 60). Yakni, orang meletakan kulitnya ke tanah dalam sebuah lubang untuk menutupi tubuhnya sebagai penganti kain, dan perutnya diganjalkan ke tanah pula karena sangat laparnya. Keadaan ini merupakan puncak bahaya dan kesusahan.
3. Amil : mereka adalah orang-orang yang diutus oleh sultan untuk memungut dan memelihara zakat.
4. Mu'allaf : mereka adalah kaum yang dikehendaki, agar hatinya cenderung atau tetap kepada Islam, menghentikan kejahatannya terhadap kaum muslimin, atau diharapkan memberi manfaat dalam melindungi kaum muslimin atau menolong mereka terhadap musuh. Mereka terbagi ke dalam tiga golongan (lihat tafsir Al-Maraghi karya Ahmad Mustofa Al-Maraghi, h. 243).
5. Hamba sahaya : Ahmad dan Bukhari meriwayatkan dari Barra' bin 'Azib : telah seorang lelaki kepada Rasulullah saw. Dia berkata, "Tunjukkan kepada saya, perbuatan apakah yang dapat mendekatkan saya ke surga dan menjauhkan saya dari neraka." Beliau bersabda, "Merdekakan ('itqun) budak dan bebaskan (fakkun) budak." Dia bertanya, "Bukankah keduanya sama?" Beliau menjawab, "Tidak : memerdekakan budak berarti kamu sendiri memerdekakannya, sedangkan membebaskan budak berarti kamu membantu harganya untuk dia memerdekakan dirinya."
6. Gharim : orang-orang yang mempunyai hutang yang menjerat lehernya, dan tidak mampu membayarnya.
7. Sabilillah : Jalan Allah adalah jalan yang menuju keridlaan dan pahala-Nya. Yang dimaksud ialah orang-orang yang berperang dan mempersapkan dirinya untuk berjihad. Diriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa dia menjadikan perjalanan ibadah haji termasuk jalan allah. Termasuk dalam hal ini ialah seluruh kebaikan, seperti mengkafani orang mati, membangun jembatan dan benteng, memakmurkan masjid dan lain sebagainya.
8. Ibnus Sabil : orang yang jauh dari negerinya dalam suatu perjalanan, dan sulit baginya untuk memperoleh sebagian hartanya jika dia mempunyai harta. Dia kaya di negerinya, tetapi faqir di perjalanannya. Maka, karena kekafirannya yang baru muncul itu, dia diberi sedekah sekedar dapat menolong dia untuk kembali kenegerinya.
b. QS. At-Taubah: 103
          •        
"Ambillah zakat dari sebagiam harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoakan untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."(QS. Al-Taubah: 103)

Penafsiran kata :
As-Sadaqah : apa yang dinafkahkan oleh orang mukmin dengan maksudmendekatkan diri kepada Allah.
At-Tazkiyah : adalah dari kata rajulun zakiy, artinya orang yang kebaikan dan keutamaannya lebih. Kata-kata ini terdapat dalam Al-Asas.
As-Sakan : sesuatu yang jiwa merasa tenteram dan sengan kepadanya. Yaitu, keluarga, harta, kesenangan, doa dan pujian.
As-Shalah : Do'a.
Penjelasan :
Ambillah Sedekah Untuk Mensucikan dan Membersihkan Mereka.
Ambillah hai Rasul dari harta yang diserahkan oleh orang-orang yang tidak ikut perang itu. Juga dari harta orang mukmin lainnya, dari berbagai jenis harta, berupa emas, perak, binatang ternak atau harta dagangan, sebagai sedekah dengan ukuran tertentu dalam zakat fardlu, atau ukuran tidak tertentu dalam zakat sunnah, yang dengan sedekah itu kamu membersihkan mereka dari kotoran kebakhilan, tamak, dan sifat yang kasar terhadap orang-orang kafir yang sengsara. Dengan sedekah itu pula, kamu mensucikan jiwa mereka dan mengangkat jiwa mereka ke derajat orang-orang yang baik dengan melakukan kebajikan, sehinga mereka patut mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Di dalam firman Allah, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka." (al-Taubah: 103). Setiap orang merdeka yang memiliki harta dengan sepenuhnya, ada zakat di dalamnya.
Sabab nuzul :
Ibnu Jarir meriwayatkan, bahwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya yang tidak ikut berperang, lalu bertaubat, mereka dating kepada Rasulullah saw. Ketika dibebaskan, lalu berkata : "Ya Rasulullah, inilah harta kami, sedekahkanlah dari kami dan mohonkanlah ampun untuk kami". Maka Rasul menjawab : "Saya tidak diperintah untuk mengambil sedikit pun dari harta kalian." Oleh karena itu Allah menurunkan ayat di atas. Maka, setelah turun ayat ini, Rasulullah mengambil sepertiga dari harta mereka, lalu beliau sedekahkan dari mereaka.
Sekalipun sebab turunnya ayat ini bersifat khusus, namun nash tentang pengambilan harta pada ayat ini bersifat umum, mencakup para khalifah rasul setelah wafat Beliau, dan para pemimpin kaum muslimin setelah wafatnya para khalifah. Juga mencakup secara umum tentang orang-orang yang diambil hartanya, yaitu kaum muslimin yang kaya.
Faidah Sedekah Dalam Membangun Masyarakat Islam
Sedekah dapat mengikis sifat-sifat kikir, kotoran-kotoran kebatilan, egois, tamak, dan rakus dalam jiwa seseorang, bahkan dapat menghindarkan mereka dari memakan harta orang lain secara batil baik lewat pengkhianatan, pencurian, perampasan, korupsi, riba atau cara lainnya yang tidak dibenarkan oleh syara'. Dan apabila masyarakat telah bersih dan suci berkat ilmu dan taqwa yang merupakan buah keimanan, maka akan bersih pula jama'ah kaum muslimin dari kotoran-kotoran kerendahan social yaitu kotoran yang bisa mengundang kedengkian, pelanggaran hak-hak orang lain, penganiayaan, permusuhan, fitnah, serta peperangan. Oleh karena harta telah menjadi life's balance (keseimbangan kehidupan), baik indifidu maupun masyarakat, maka harta pun bisa memicu perebutan dan pertengkaran. Dan itulah sebabnya agama mewajibkan kepada para pemilik harta supaya menafkahkan dan mengeluarkan sedekah sehingga kekayaan mampu menjadi medium of peace (sarana perdamaian), bukan lagi menjadi ajang pertengkaran.

c. QS. Al-An'am: 141
    • •   • •   • •                      
Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan tidak berjunjung, pohon korma, tanaman-tanaman yang bermacam-macam, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada faqir miskin), dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai yang berlebih-lebihan. (QS. Al-An'am: 141).

Penafsiran kata :
Al-Insya' : mengadakan makhluk hidup dan mengasuhnya. Juga mengadakan segala sesuatu yang menjadi sempurna secara berangsur-angsur. Seperti mengadakan awan, perkampungan, dan rambut.
Al-Jannat : taman-taman dan kebun anggur yang lebat pohonnya, karena kebun seperti itu menutupi tanah di bawahnya dan membuatnya tidak kelihatan.
Al-Ma'rusyat : tanaman-tanaman yang dicagak pada tiang-tiang penyangga. Yaitu junjungan-unjungan yang dibuat dari kayu dan bambu, yang di atasnya diletakkan batang tanaman-tanaman itu hingga seperti atap rumah.
Gairul Ma'rusyat : tanaman yang batangnya tidak diletakkkan di atas junjungan. Maksudnya, bahwa kebun itu ada dua macam. Yaitu kebun-kebun yang memakai junjungan-junjungan, seperti pohon anggur dan kebun yang tidak memakai junjungan, kebun-kebun yang berisi bermacam-macam pohon yang batangnya tumbuh lurus, tidak merambat ke pohion lainnya.
Al-Ukul : (huruf hamzah dan memakai dhammah): sesuatu yang dimakan.
Mutasyabihan : serupa warna, bentuk, dan rasanya jika dilihatdengan mata.
Gaira Mutasyabih : tidak sama rasanya.
Penjelasan :
Pohon kurma sekalipun sebagian dari kebun yang tidakl berjunjung, namun di sini disebutkan secara tersendiri, karena mempunyai multi fungsi, terutama bagi bangsa Arab. Kurma mempunyai keistimewaan yang melebihi anggur dan merupakan pohon yang paling mirip dengannya.
Sedang Az-Zara ialah tanaman yang tumbuh ditanam manusia, mencakup segala tumbuhan yang ditanam, khususnya yang menajdi makanan pokok. Serperti gandum dan kedelai. Jenis-jenis tumbuhan ini telah disebutkan secara berturut-turut, dari yang paling rendah kedudukannya sebagai makanan biasa dan makanan pokokmanusia, sampai kepada yang paling tinggi dan umum, karena biji-bijian merupakan tumbuhan yang menjadi bahan pokok, sebagai makanan yang menyenangkan.
Sabab nuzul :
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa orang-orang yang menghambur-hamburkan hasil panen serta hidup berfoya-foya, tetapi tidak mengeluarkan zakatnya. Maka turunlah ayat ini (QS. 6 al-An'am: 141) sebagai perintah untuk mengeluarkan zakat pada hari panennya (diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Abul 'Aliyah).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ayat ini (QS. 6 al-An'am: 141) turun berkenaan dengan Tsabit bin Qais bin Syammas yang menuai buah kurma, kemudian berpesta pora, sehingga pada petang harinya tak sebiji pun buah kurma tersisa di rumahnya (diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Juraij).



d. QS. Al-Baqarah: 267
                           •    
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang keluarkan dari bumi untuk kalian, dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk lalu kalian nafkahkan daripadanya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya, Maha terpuji." {QS. Al-Baqarah: 267).

Penafsiran kata :
Anfiqu : kata infaq berasala dari akar kata nafaqa-yanfuqu-nafaqan-nifaqan, yang artinya "berlalu", "habis", "laris", "ramai". Kalimat nafaqa asy-syai'u artinya sesuatu itu habis, baik habis karena dijual, mati, atau karena dibelanjakan. Kalimat nafaqa al-bai'u nafaqan artinya dagangan itu habis karena laris terjual. Infaq yang berarti "menghabiskan" atau "membelanjakan" dapat berkenaan dengan harta atau lainnya, dan status hukumnya bisa wajib dan bisa sunat.
Thayyibat : terambil dari kata thayyib yang artinya baik dan disenangi (disukai); lawannya adalah khabis yang berarti buruk dan dibenci.
Wa la tayammamu : artinya, janganlah kamu bermaksud, menuju, menghendaki.
Taghmidlu : artinya meremehkan, memicingkan mata. Perkataan Aghmidl (remehkan, picingkan matamu) kepada si penjual, artinya "janganlah kamu selidiki/teliti seakan-akan kamu tidak melihat."
Makna Global
Pada ayat (QS. Al-Baqarah: 267) ini Allah menjelaskan pedoman yang harus diperhatikan berkaitan dengan kualitas harta yang akan diinfakkan, yaitu bahwa harta tersebut hendaknya merupakan harta terbaik dan paling dicintai, sehingga dengan demikian pedoman tentang infak dan penggunaan kekayaan pada jalan Allah menjadi lengkap dan sempurna.
Penjelasan
Allah mengaitkan hasil usaha kepada mereka, meskipun dia yang menciptakan perbuatan mereka, karena hasil itu merupakan perbuatan mereka. Sedangkann yang mengeluarkan hasil bumi disandarkan kepada Allah, karena hal itu bukan perbuatanmereka dan juga di luar kesanggupan mereka.
Kemudian Allah berfirman, "Janganlah kalian memilih yang buruk-buruk lalu kalian nafkahkan daripadanya". Allah melarang menafkahkan hasil usaha yang buruk-buruk secara sengaja. Kemudian firmannya, "Padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya". Artinya , sekiranya mempunyai hak untuk menerima hasil yang buruk itu, lalu ia diberikan kepada kalian, tentulah kalian tidak mau menerimanya meskipun ada hak terhadapnya, kecuali kalian harus mempertimbangkan tenggang rasa untuk mengambilnya dan meminta keringanan dalam masalah ini.
Sabab nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat tersebut di atas (QS. Al-Baqarah: 267) berkenaan dengan kaum Anshar yang mempunyai kebun kurma. Ada yang mengeluarkan zakatnya sesuai dengan penghasilannya, tetapi ada juga yang tidak suka berbuat baik. Mereka (yang tidak suka berbuat baik) ini menyerahkan kurma yang berkualitas rendah dan busuk. Ayat tersebut di atas sebagai teguran atas perbuatan mereka. (diriwayatkan oleh al-Hakim, at-Tirmidzy, Ibnu Majah, dan lain-lain yang bersumber dari al-Barra'.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ada orang-orang yang memilih kurma yang jelek untuk dizakatkan. Maka turunlah ayat tersebut di atas (QS. Al-Baqarah: 267) sebagai teguran atas perbuatan mereka. (diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa'I, dan al-Hakim, yang bersumber dari Sahl bin Hanif).

e. QS. Al-Baqarah: 271
                       
"Jika kamu menampakkan sedekah (mu), maka itu adal;ah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikankepada orang-orang fakir, maka menyembuhnyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."(QS. Al-Baqarah: 271).

Makna Global
Di dalam ayat yang lalu, Allah mengemukakan bahwa Dia Maha Mengetahui terhadap apa yang kalian infaqkan. Allah kelak akan membalasnya. Apabila baik, maka balasannya adalah baik; dan jika jelek, maka balasannya pun jelek.
Kemudian, di dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang cara memberikan sedekah tersebut, yang tentu saja ada yang diberikan secara sembunyi, dan ada yang diberikan secara terang-terangan, dan mana yang paling utama dari keduanya.
Penjelasan :
Allah menggambarkan bahwa memberikan infaq kepada fakir miskin secara sembunyi-sembunyi, lebih baik bagi pelakunya daripada menampakkannya. Pembatasan yang ditetapkan Allah untuk merahasiakan pemberian kepada fakir miskin secara khusus, dan Allah tidak mengatakan, "jika kalian menyembunyikannya, maka hal itu lebih baik bagi kalian". Sebab di antara shadaqah ada yang tak mungikin disembunyikan, seperti menyediakan perlengkapan pasukan perang, membangun jembatan, dan lain sebagainya. Tapi ketika memberikannya kepada fakir miskin, maka ada beberapa manfaatnya untuk menyembnyikannya, seperti menutupi aibnya, tidak membuatnya malu di hadapan manusia, dan sebagainya.
Dan apabila kalian menampakkan sedekah secara terang-terangan, maka sebaik-baiknya amal itu adalah yang terang-terangan. Sebab, hal ini merupakan panutan yang baik bagi lainnya.
Di samping itu, sedekah merupakan salah satu syi'ar agama Islam. Seandainya disembunyikan, maka ada sebagian orang yang menduga, bahwa mengeluarkan sedekah secara terang-terangan adalah dilarang di dalam Islam.

Sedekah secara sembunyi lebih utama
Apabila kita memberikan sedekah tersebut kepada kaum fakir miskin secara sembunyi, maka hal itu akan lebih utama, karena terjauh dari perasan riya'. Dalam hal ini, banyak sekali hadis dan asar yang mendukung amal seperti ini.
Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari Abu Umamah, bahwa Abu Zar pernah menanyakan kepada Nabi saw. "Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang lebih utama?" jawab Nabi, "sedekah siri (sembunyi) kepada kaum fakir, atau sedekah yang dihasilkan dengan susah payah, oleh orang yang hidupnya kekurangan". Selanjutnya, Nabi membacakan ayat ini.
Jumhur ulama' mengatakan, "bahwa letak keutamaan menginfakkan harta secara sirri disbanding terang-terangan, hanyalah pada sedekah sunnah, bukan pada sedekah wajib (zakat). Menampakkkan sedekah wajib itu lebih utama, karena dengan demikian, tampaklah syi'ar-syi'ar agama. Mereka juga menambahkan, "sesungguhnya menampakkan amal itu lebih baik bagi orang yang berniat agar ditiru oleh orang banyak, meski yang dilakukan adalah sedekah sunnah."
Sabab Nuzul
Ayat ini diturunkan sehubungan dengan Abi baker dan Umar bin Khathab. Pada suatu ketika Umar bin Khathab menyedekahkan separuh dari harta kekayaannya kepada Rasulullah saw untuk kepentingan agama. Rasulullah saw bersabda: "Tidaklah engkau memikirkan anak turun dan keluarga yang ada di belakangmu, wahai Umar". Jawab Umar, "aku sediakan buat mereka separuh dari harta kekayaanku". Sedangkan Abu Bakar Shiddiq secara diam-diam telah menyerahkan seluruh harta kekayaannya kepada Rasulullah saw untuk kepentingan agama. Rasulullah saw bersabda kepadanya: "Wahai Abu Bakar, tidakkah kamu memikirkan keluarga dan anak turun yang di belakangmu". Jawab Abu Bakar: "Yang akan mencukupi keluargaku adalah Allah dan Rasulullah". Mendengar jawaban yang seperti itu Umar bin Khathab menagis seraya berkata: "Demi Allah – tebusanmu adalah ayah adan ibuku – setiap aku berniat membuat kebajikan selalu saja kamu tandingi, wahai Abu Bakar". Ayat ini pada dasarnya memuji sikap Umar bin Khathab yang menyedekahkan harta kekayaannya dengan terang-terangan dengan maksud agar dicontoh orang lain, dan kepada Abu Bakar yang menyedekahkan hartanya secara rahasia. Kedua perbuatan ini adalah sangat baik, yang patut diikuti oleh setiap muslim. (HR. Ibnu Hatim dari ayahnya dari Husain bin Ziyad al-Muharibi dari Musa bin Umair dari Amir asy-Sya'bi).
V. Munasabah ayat
Di dalam surat al-Taubah: 60, Allah menjelaskan tentang orang-orang yang berhak menerima zakat yakni ada delapan asnaf. Agar kenikmatan dan kekayaan duniawi ini juga bisa dirasakan oleh faqir miskin, maka Allah memrintahkan untuk mengambil zakat dari sebagian harta untuk diberikan kepada yang berhak, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Taubah: 103. Karena dengan zakat itu bisa mengikis sifat-sifat kotor seperti; bakhil, tamak, berlaku tak senonoh terhadap orang-orang faqir, dan juga perintah mendoakan kepada orang yang mengeluarkan zakat.
Allah menjadikan kebun-kebun, di situ tumbuh tanaman-tanaman yang bermacam-macam. Dari tanaman-tanaman itu agar kita bisa menikmati buahnya, dan menunaikan haknya ketika sudah panen kepada orang-orang yang berhak menerima zakat. Kita tidak boleh berlebih-lebihan meskipun kaya, mempunyai kebun yang luas, sawah, ladang yang ditanamai berbagai macam tanaman, karena di situ terdapat hak bagi faqir miskin. Dan sesunguhnya Allah tidak menyukai yang berlebih-lebihan, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-An'am: 141.
Ketika kita bersedekah dari hasil-hasil usaha, agar tidak memilih yang buruk-buruk untuk dinfkakkan, padahal kita sendiri tidak mau mengambilnya. Maka Allah menegaskan kembali seperti dalam sural al-Baqarah ayat 267, agar kita menginfakkan yang baik-bak sehingga yang menerima bisa senang hati. Masalah menampakkan atau menyembunyikan sedekah, itu bukan menjadi permasalahan karena keduanya itu sama-sama baik, ini disinggung dalam surat al-Baqarah ayat: 271, meskipun itu sedekah sunnat dengan niatan agar bisa dibudayakan. Tidak hanya itu, dengan sedekah Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahan kita.

C. Kesimpulan :
Zakat adalah salah satu ibadah pokok dan termasuk salah satu rukun Islam dan hukumnya fardlu 'ain dalam arti kewajiban yang ditetapkan untuk diri pribadi dan tidak mungkin dibebankan kepada orang lain.
Zakat itu ada dua macam. Pertama zakat mal (zakat harta) dan kedua zakat diri yang dikeluarkan setiap akhir Ramadlan yang disebut juga zakat fitrah.
Perintah Allah untuk berzakat itu disamping menggunakan lafadz zaka juga menggunakan kata lain, yaitu : anfaqa (al-Baqarah: 267), shadaqa (al-Taubah: 60), dan atu haqqahu (al-An'am: 141), ketiga lafadz tersebut mengandung arti zakat.
Ada delapan macam orang yang berhak menerima zakat, yaitu : fakir, miskin, amil, mu'allaf, hamba sahaya, gharim, sabilillah, dan ibu sabil (musafir).
Faidah Sedekah Dalam Membangun Masyarakat Islam
Sedekah dapat mengikis sifat-sifat kikir, kotoran-kotoran kebatilan, egois, tamak, dan rakus dalam jiwa seseorang, bahkan dapat menghindarkan mereka dari memakan harta orang lain secara batil baik lewat pengkhianatan, pencurian, perampasan, korupsi, riba atau cara lainnya yang tidak dibenarkan oleh syara'. Oleh karena harta telah menjadi life's balance (keseimbangan kehidupan), baik indifidu maupun masyarakat, maka harta pun bisa memicu perebutan dan pertengkaran. Dan itulah sebabnya agama mewajibkan kepada para pemilik harta supaya menafkahkan dan mengeluarkan sedekah sehingga kekayaan mampu menjadi medium of peace (sarana perdamaian), bukan lagi menjadi ajang pertengkaran.

D. Penutup :
Dimikianlah makalah yang dapat kami presentasikan semoga bisa membantu kita dalam menjawab persoalan keumatan yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan waktu. Tak ada gading yang tak retak dan tak ada lautan yang tak bergelombang, maka tidak menutup kemungkinan dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kekhilafan. Kemudian saran dan kritik dari bapak dosen dan saudara-saudara mahasiswa sangat kami harapkan agar makalah hari esok dan selanjutnya menjadi lebih baik dan benar.

E. Daftar Pustaka :
• Al-Jaziri, Abdurrahman. Fiqih Madzahibul Arba'ah. Kairo: Darul Hadis, 1994
• Mustofa al-Maraghi, Ahmad. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: CV. Toha Putra, 1992.
• Amin Suma, Muhammad. Tafsir Ahkam: Tafsir Ayat-Ayat Pilihan. Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997.
• Dahlan, H.A.A dkk. Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur'an. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2006..
• Depag. Al-Qur'an dan Tafsir. YPPA, 1979.
• Mahali, A.Mujib. Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman al-Qur'an. Jakarta: CV. Rajawali, 1989.
• Sabiq, Sayyid.Fiqih Sunnah. Jakarta: Dar l-Fath, 2004.
• Shihab, Quraisy. "Membumikan "Al-Qur'an: Fungsi dan peran wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1993.
• Suhardi, Kathur. Tafrir Ibnu Qayyim. Darul Falah: Jatim: Darul Falah, 2000.
• Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Prenada Media, 2003.
• Syafi'I, Imam. Hukum al-Qur'an: Asy-Syafi'I dan Ijtihadnya. Surabaya: PT. Bengkulu Indah, 1994.
• Tafsir sepersepuluh dari al-Qur-an al-Karim. Bogor, 1427 H, h. 139.

HAK DAN KEWAJIBAN MANTAN SUAMI ISTRI DALAM MASA IDDAH

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam perkawinan seseorang tak semuanya indah dan langgeng. Tak jarang di antara mereka yang berhenti di tengah jalan alias cerai. Sehingga ada aturan-aturannya yang harus dipenuhi saat terjadi perceraian. Tidak hanya berhenti sampai di situ, setelah terjadi perpisahan antara suami dan isteri masih ada lagi aturan-aturan yang harus diikuti yaitu masa iddah. Hukum Islam telah memberikan penjelasan-penjalasan melalui ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi. Hal-hal yang harus dikerjakan oleh isteri yang diceraikan begitu pula kewajiban suami yang menceraikannya. Keduanya ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.
Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya dari suaminya, maka berlaku baginya masa tunggu atau masa ‘iddah kecuali apabila seorang isteri dicerai suaminya sebelum berhubungan [qobla al-dukhul]. Baik karena kematian, perceraian, atau atas keputusan pengadilan. Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 dituangkan dalam pasal 11 :
1. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
2. Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat [1] akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 masalah ini dijelaskan dalam Bab VII pasal 39. Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada pasal 153, 154, dan 155. Pasal 153 ayat [1] Kompilasi menyatakan : “Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau ‘iddah, kecuali qobla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami”.








BAB II
PEMBAHASAN-PEMBAHASAN

A. HAK WANITA DALAM MASA IDDAH
Pertama: Wanita yang taat dalam iddah raj’iyyah berhak menerima tempat tinggal, pakaian dan segala keperluan hidupnya dari suami yang menalaknya, kecuali jika pihak isteri berbuat durhaka, maka ia tidak berhak menerima apapun.
Rasulullah SAW. telah bersabda tentang masalah ini, dari Fatimah binti Qais, bahawa Rasulullah SAW. telah bersabda kepadanya”.

Yang artinya: “wanita yang berhak mengambil nafkah dan rumah kediaman dari bekas suaminya itu apabila bekas suaminya itu berhak untuk rujuk kepadanya. Dan berkenaan dengan tempat tinggal ini, Allah swt berfirman dalam QS. Al-Thalaq: 1 :
 •         •                              •      
1. Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)[1481] dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang[1482]. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru[1483].

[1481] Maksudnya: isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu Suci sebelum dicampuri. tentang masa iddah lihat surat Al Baqarah ayat 228, 234 dan surat Ath Thalaaq ayat 4.
[1482] yang dimaksud dengan perbuatan keji di sini ialah mengerjakan perbuatan-perbuatan pidana, berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, ipar, besan dan sebagainya.
[1483] Suatu hal yang baru maksudnya ialah keinginan dari suami untuk rujuk kembali apabila talaqnya baru dijatuhkan sekali atau dua kali.

Dari ayat di atas, Ibnu Abbas berkata: “Adalah sebuah perbuatan keji jika ia melontarkan ucapan tercela kepada kerabat suaminya. Oleh karena itu, jika ia telah berbuat buruk, maka ia sudah boleh dikeluarkan dari rumah suaminya.” Ada juga yang menafsirkan kata al-Fahisyah dengan perzinaan. Oleh karena itu, jika ia berbuat zina, maka ia harus keluar rumah untuk menjalani hukuman had. Yang demikian itu diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud.
Di dalam QS. Al-Thalaq: 6 juga disebutkan :
                                    
6. Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.

Imam Nawawi mengemukakan, “Para ulama’ tidak berbeda pendapat bahwa wanita yang ditalak raj’i berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang wanita yang dijatuhi talaq battah (talak tiga). Ada sekelompok ulama’ yang mengatakan, “Tidak ada nafkah dan tempat tinggal baginya kecuali jika ia dalam keadaan hamil.” Yang demikian itu juga diriwsayatkan dari Ibnu Abbas, yang juga termasuk pendapat al-Hasan, Atha’ bin Abi Ribah, dan al-Sya’bi. Pendapat itu pula yang dikemukakan oleh Ahmad dan Ishak.
Kelompok lainnya berkata, “Isterinya itu masih berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah, baik ia dalam keadaan hamil maupun tidak, selama ia masih dalam keadaan iddah.” Hal itu juga diriwayatkan dari Umar bin Khattab dan Abdullah bin Mas’ud. Demikian pula yang menjadi pendapat Ibrahim al-Nakha’i. Pendapat itu pula yang menjadi pegangan Sufyan al-Tsauri dan para penganut madzhab Hanafi.
Kedua: Wanita yang menjalani iddah karena cerai hidup. Jika ia dijatuhi talak ba’in yang tidak boleh dirujuk lagi oleh suaminya, misalnya yang dijatuhi talak tiga, yang berli’an dan yang sepersusuan, maka ia boleh dilamar melalui sindiran seperti wanita yang beriddah karena ditinggal mati suami.
Dan jika dijatuhi talak yang masih diperbolehkan kembali kepada suaminya, seperti wanita yang melakukan khulu’ atau yang nikahnya di-faskh (dibatalkan), maka suaminya boleh melamarnya secara sharih (terus terang). Tetapi apakah bagi laki-laki selain suaminya boleh mengajukan lamaran atau tidak? Mengenai hal tersebut terdapat dua pendapat:
Salah satunya pendapat yanhg membolehkannya sebagaimana terhadap wanita yang ditalak tiga. Dan pendapat kedua tidak membolehkan, karena suami wanita yang beriddah itu masih mempunyai hak untuk kembali kepadanya. Dan wanita yang ditalak raj’i pun tidak boleh dilamar oleh laki-laki lain.
Sedangkan wanita yang dijatuhi talak ba’in, maka menurut mayoritas ulama masih tetap berhak mendapatkan tempat tinggal, namun mereka masih berbeda pendapat mengenai pemberian nafkah kepadanya. Di antara mereka ada yang mewajibkan dan ada pula yang mengatakan, “Tidak ada nafkah baginya kechuali jika ia dalam kedaan hamil.” Demikian yang menjadi pendapat Syafi’i. Dan mengenai hak mendapatkan tempat tinggal ini, wanita yang melakukan li’an sama dengan wanita yang ditalak tiga. Adapun dalam hak mendapatkan nafkah, jika ia dalam keadaan hamil dan suaminya mau mengakui bayi yang dikandungnya, maka ia masih berhak mendapatkannya.
Sedangkan wanita yang menjalani iddah karena ditiggal mati suaminya, ia tidak berhak mendapatkan nafkah baik dalam keadaan hamil maupun tidak. Dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’. Mengenai firman Allah swt dalam QS. Al-Baqarah: 240 yang berbunyi :
       ••                 •     
240. Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ibnu Abbas berkata, “Ayat tersebut telah di-naskh (dihapus) dengan ayat warisan, di mana telah ditetapkan bagi mereka seperempat dan seperdelapan. Dan batas waktu satu tahun pun dihapus dengan bataswaktu empat bulan sepuluh hari.” Demikian yang diwahyukan Abu Dawud dengan sanad hasan. Dan Jabir berkata, “Wanita yang ditinggal mati suaminya tidak berhak mendapatkan nafkah, tetapi cukup baginya warisan.
Kemudian para ulama’ berbeda pendapat berkenaan dengan tempat tinggal bagi wanita yang beriddah karena ditinggal mati suaminya. Syafi’i sendiri mempunyai dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan, tidak ada hak bagi wanita tersebut untuk mendapatkan tempat tinggal, dan ia diperbolehkan beriddah di mana saja ia suka. Demikianlah pendapat Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas dan Aisyah. Hal itupun dikemukakan oleh Atha’, Jabir bin Zaid dan al-Hasan. Pendapat senada juga disampaikan oleh Abu Hanifah dan menjadi pilihan al-Muzni, karena Nabi Muhammad saw memberikan izin kepada furai’ah untuk kembali kepada keluarganya. Dan sabdanya, “Tetaplah tinggal di rumahmu sampai pada batas waktu yang ditentukan.”
Pendapat kedua menyatakan, bahwa ia berhak mendapatkan tempat tinggal, dan inilah pendapat yang lebih tepat. Ini pula yang menjadi pendapat Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas’ud, Malik, Sufyan al-Tsauri, Ahmad dan Ishak. Berkenaan dengan pendapat ini mereka berkata, “Izin yang diberikan Nabi Muhammad SAW. kepada Furai’ah yang pertama di-mansukh dengan sabda beliau yang terakhir, “Tetaplah tinggal di rumahmu sampai batas waktu yang ditentukan.”

B. KEWAJIBAN WANITA DALAM MASA IDDAH
Wanita yang iddah wajib menetap di rumahnya sampai pada batas waktunya, tidak halal baginya keluar rumah, dan tidak halal juga bagi bekas suami mengeluarkannya dari rumah. Jika sudah terjadi talak sedang isteri tidak ada di rumah, maka ia wajib kembali ke rumahnya. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah pada QS. Al-Thalaq: 1:

Perbedaan pendapat tentang masalah wanita yang keluar rumah pada masa iddah :
Para fuqaha’ telah berbeda pendapat mengenai wanita yang keluar rumah pada masa iddah, ulama’ Hanafiyah menyatakan tidak membolehkan bagi isteri yang ditalak raj’i (tidak berlaku bagi isteri yang ditalak ba’in) keluar dari rumahnya baik pada waktu siang hari maupun malam hari. Adapun isteri yang ditinggal mati suaminyamaka ia boleh keluar rumah pada waktu siang dan setengahnya malam, akan tetapi ia tidak boleh menginap kecuali di rumahnya sendiri.
Para ulama’ hanafiyah berkata, “Perbedaan di antara keduanya (isteri yang ditalak raj’i dan isteri yang ditinggal mati suaminya), jika isteri yang ditalak raj’i, ia mendapatkan nafkah dari harta bekas suaminya, maka ia tidak diperbolehkan keluar rumah. Sedangkan isteri yang ditinggal mati suaminya, ia tidak mendapatkan nafkah, maka ia wajib keluar rumah pada siang hari untuk memperbaiki keadaannya.

B. KEWAJIBAN MANTAN SUAMI TERHADAP MANTAN ISTERI YANG IDDAH
Kewajiban suami terhadap isteri yang dicerai raj’i adalah memberi nafkah dan tempat tinggal selama masa iddah. Adapun bagi isteri yang ditalak ba’in ada beberapa pendapat. Pendapat pertama dari Abu Hanifah. Dia menegaskan bahwa isteri yang ditalak ba’in mendapatkan nafkah dan tempat tinggal sebagaimana isteri yang ditalak raj’i dengan alasan isteri yang ditalak ba’in itu wajib tinggal di rumahnya, maka ia memiliki hak atas nafkah dan suami pun wajib memberikan nafkah.
Pendapat kedua dari Imam Ahmad. Dia mengatakan bahwa isteri yang ditalak ba’in tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Hal ini berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan dari Fatimah bin Qais:

“Sesungguhnya suami Fatimah menceraikannya tiga kali, maka Rasulullah SAW. bersabda kepadanya, “Engkau tidak berhak mendapatkan nafkah.”

Pendapat yang ketiga dari Imam Syafi’i dan Imam Malik. Mereka berpendapat bahwa isteri yang ditalak ba’in berhak mendapatkan tempat tinggal dalam segala keadaan, namun ia tidak mendapatkan nafkah kecuali dalam keadaan hamil. Pendapat ini berdasarkan karena Aisyah dan Ibnu Musayyab mengingkari hadisnya Fatimah binti Qais. Imam Malik berkata, “Aku mendengar Ibnu Syihab berkata: “Isteri yang ditalak ba’in tidak boleh keluardari rumahnya sampai ia halal, dan ia tidak mendapatkan nafkah kecuali dalam keadaan hamil, maka suami wajib memberi nafkah sampai ia melahirkannya.



BAB III
PENUTUP
Dari beberapa penjelasan di atas dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa :
A. HAK WANITA DALAM MASA IDDAH
1. Isteri yang ditalak raj’i oleh suaminya, ia berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal sampai pada batas waktunya.
2. Isteri yang ditalak ba’in oleh suaminya, ada beberapa pendapat :
a. Pendapat pertama dari Abu Hanifah. Dia menegaskan bahwa isteri yang ditalak ba’in mendapatkan nafkah dan tempat tinggal sebagaimana isteri yang ditalak raj’i dengan alasan isteri yang ditalak ba’in itu wajib tinggal di rumahnya, maka ia memiliki hak atas nafkah dan suami pun wajib memberikan nafkah.
b. Pendapat kedua dari Imam Ahmad. Dia mengatakan bahwa isteri yang ba’in tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Hal ini berdasarkan hadis Nabi yang dari Fatimah bin Qais:
“sesungguhnya suami Fatimah menceraikannya tiga kali, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Engkau tidak berhak mendapatkan nafkah.”
c. Pendapat yang ketiga dari Imam Syafi’i dan Imam Malik. Mereka berpendapat bahwa isteri yang ditalak ba’in berhak mendapatkan tempat tinggal dalam segala keadaan, namun ia tidak mendapatkan nafkah kecuali dalam keadaan hamil.

Di samping wanita yang iddah memiliki hak, ia juga mempunyai kewajiban yang harus ditaati yakni ia wajib menetap di rumahnya sampai pada batas waktunya, tidak halal baginya keluar rumah, dan tidak halal juga bagi bekas suami mengeluarkannya dari rumah. Jika sudah terjadi talak sedang isteri tidak ada di rumah, maka ia wajib kembali ke rumahnya. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah pada QS. Al-Thalaq: 1:









BAB IV

DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, Sayyid. Fiqih al-Sunnah. Kairo: Daru al-Hadis, 2004.
Ayyub, Syaikh Hasan. Fiqih al-Usrah al-Muslimah, penerjemah: M. Abdul Ghofar E.M. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.
Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini, al-Ima Taqiyyu al-Din. Kifayatu al-Akhyar, Juz 2. Pekalongan: Raja Murah, tt.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003






















MAKALAH

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM MASA IDDAH

Makalah ini dipresentasikan guna memenuhi tugah mata kuliyah Fiqih Munakahat
Dosen pengampu : Drs. Bustanuddin Jamal, M. Hum.












Oleh :
Sholeh Hadi
Misbahul Munir


Fakultas Syari’ah V
Progam Study Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Institut PTIQ Jakarta
2008-2009

AYAT-AYAT TENTANG HADHANAH DAN ADOPSI

Oleh : Sholeh hadi (Syari’ah V)

PENDAHULUAN
Begitu banyak kasus yang terjadi dalam rumah tangga, sehingga pada akhirnya sering terjadi perceraian. Di samping itu ada juga anak-anak yatim yang ditinggal mati orang tuanya, yang mana kesemuanya itu berlakulah hokum hadhanah. Dalam konsep Islam hadahanah telah dijelaskan dengan panjang lebar baik dalam al-Qur'an maupun al-hadis dan juga dalam kitab-kitab fiqih. Yakni perihal mengatur anak-anak yang tidak memiliki orang tua karena cerai atau ditinggal mati. Dalam hal ini akan dijelaskan hokum-hukumnya yang terkandung dalam ayat 2,5,6,7, dan 10 surat al-Nisa'.
Selain permasalahan hadhanah yang sering terjadi di masyarakat adalah adopsi (mengambil anak angkat). Masalah ini bukanlah hal baru, namun sudah terjadi sejak zaman Jahiliyah. Konon pada waktu itu, orang-orang jahiliyah telah menjadikan anak-anak angkat mereka menjadi anaknya sendiri, dianggap kerabatnya sehingga bias mewarisi harta orangtua yang mengangkatnya. Bagi mereka, hal ini adalah sesuai dengan ajaran agama yang dibawa oleh nenek moyangnya.
Untuk meluruskakan masalah di atas, maka Allah berfirman dalam ayat 4-5 surat al-Ahzab yang membahas masalah status anak angkat. Sebagai contoh untuk membenarkan ayat tersebut, Nabi Muhammad sendiri pernah mengambil anak angkat Zaid bin Haritsah. Sehingga Nabi tidak membenarkan perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah.

Pengertian Hadhanah
Dalam kamus istilah fiqih, "Hadhanah adalah : hal memelihara, mendidik, mengatur, mengurus segala kepentingan/urusan anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan baik dan buruknya sesuatu atau tundakan bagi dirinya)."apabila suami dan isteri bercerai, si istrilah yang berhak mengasuh anak yang belum mumayyiz itu selama belum ia menikah dengan orang lain, sampai anak tersebut mampu menjaga dirinya sendiri, dan nafkah tetap ditanggung oleh pihak ayahnya. Setelah anak tersebut mumayyiz, yang berwajib (pemerintah/pengadilan agama) yang berhak menentukan siapa di antara keduanya yang berhak mengasuhnya (semata-mata demi kebvaikan anak). Sekiranya keduanya sama baiknya, anak yang bersangkutan diserahkan untuk menentukan pilihannya, apakah ikut ibu atau ayahnya.

Pengertian adopsi :
Adopsi terdapat dua pengertian :
1. Mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih saying dan si orang tua angkat memperlakukan seperti anaknya sendiri, tanpa memberi status anak kandung kepadanya.
Mengambil anak orang lain untuk diberi status anak kandung. Dengan begitu, ia berhak memakai nasab orang tuanya dan mewarsi harta peninggalannya, dan hak-hak lain sebagaimana berlaku dalam hubungan anak dengan orang tua. Menurut pandangan Islam, Adopsi seperti yang berlakudan menjadi tradisi di zaman Jahiliyah, yang memberi kepada anak angkatyang sama dengan anak kandung, tidak dibenarkan dan tidak diakui. Hubungan anak angkat dengan orang tua angkat dan keluarganya tetap seprti sebelum adopsi, yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan.

Ayat – ayat tentang hadhanah
Firman Allah SWT. yang membahas tentang hadhanah di antaranya adalah :
2. QS. Al-Baqarah: 220
                            •    

Tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.


Sebab turunnya ayat :
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika turun ayat "wala taqrabu mal al-yatimi alla bi al-lati hiya ahsanu" (S. 6: 152) dan ayat "inna al-ladzina ya'kuluna amwala al-yatama dhulman", sampai akhir ayat" (S. 4: 10), orang yang memelihara anak yatim memisahkan makanan da minumannya dari makanan dan minuman anak-anak yatim itu. Hal tersebut memberatkan mereka. Lalu mereka menghadap Rasulullah untuk menceritakan hal itu. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 220) yag mmbenarkan menggunakan cara lain yang lebih baik. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasai, al-Hakim dan lain-lainnya yang bersumber dari Ibu Abbas.

QS. Al-Nisa': 2
                   
2. Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.

Penafsiran kata-kata sulit :
Wala Tatabaddalu : jangan kalian menggantikan
Al-Khabitsa : adalah perkara yang haram
Al-Thayyibu : adalah perkara yang halal
Penjelasan :
  
Yang dimaksud dengan memberikanharta kepada anak-anakyatim ialah menjadikannya khusus untuk mereka, dan tidak boleh sedikitpun dimakan dengan cara batil (tidak sah). Artinya, whai para wali dan penerima wasiat 9harta anak yatim), peliharalah harta anak yatim itu. Janganlah kamu memperlakukannya dengan cara yang jelek, dan serahkanlah harta mereka ketika kamu telah merasa bahwa kedewasaan telah umbuh dalam diri mereka. Sebab anak yatim adalah orang lemah, tidak mampumemelihara hartanya sendiri dan mempertahankannya.
    
Dan janganlah kamu mengganti harta halal, yaitu hartamu sendiri yang kamu hasilkan dari jerih payahmu sendiri berkat kemurahan Allah, lalu kamu menggantikannya dengan harta haram, yaitu harta anak yatim (yang dititipkankepadamu). Kesimpulannya, janganlah kamu bersenang-senang dengan harta anak yatim pada tempat dan keadaan yang seharusnya kamu bersenang-senangmenggunakanhartamu sendiri. Apabila kamu berbuat demikian, berarti kamu mengganti harta anak yatim dengan hartamu.
     
Yang dimaksud dengan memakan ialah semua penggunaan yang menghabiskan harta. Sesungguhnya di sini hanya disebutkan istilah memakan, karena sebagian besar penggunaan harta benda itu untuk tujuan makan.
Imam Syafi'I mengungkapkan, "Pada dasarnya, hokum makan atau minum sesuatu yang bukan milik seseorang atau sudah dihalalkan oleh pemiliknya adalah halal, kecuali yang diharamkan oleh Allah dalam kitab-Nya atau melalui lisan Nabi-Nya.

QS. Al-Nisa': 5
               • 
5. Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.

Penafsiran kata-kata sulit :
Al-Sufaha : bentuk tungalnya safih, artinya orang yang menyia-nyiakan harta dengan menginfakkannya kepada hal-hal yang tidak semestinya dibeli (dikonsumsi). Asal katanya al-safah, artinya ringan dan goncang. Berdasarkan pengertian itu, dikatakan zamanun safih, apabila dalam zaman tersebut banyak kegoncangan yang terjadi.
Qiyaman : tulang punggung urusan penghidupanmu, dan yang mencegah kamu dari kekafiran. Al-Raghib (Al-Asfahany) mengatakan, lafaz al-Qiyam dan al-Qiwam artinya sesuatu yang menegakkan dan menetapkannya, seperti halnya uang dan sandaran karena hal itu dijadikansebagai tiangpenopang dansandaran barang yang bertumpu padanya.
Pengertian secara umum :
Setelah allah memerintahkan kita pada ayat-ayat terdahulu, yaitu menyerahkan harta benda anak yatim, menyerahkan mahar kepada istri-istri, kemudian Allah memberikan persyaratan dalam kelompok ayat-ayat ini, yang kesimpulannya mencakup dua hal yang saling berkait. Yaitu hendaknya si pemberi dan si penerima tidak ada yang safih (bodoh), yang disertai penjelasan bahwa anak-anak yatim harus diberi rezki dan pakaian dari harta benda mereka sendiri, yang ada pada orang-orang yang dititipinnya, selagi mereka masih berada dalam pemeliharaannya.juga harus disertai perlakuan yang baik, agar keadaan mereka membaik.
Imam Syafi'I mengatakan, "Firman Allah, "Janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan kalian)." Yang dimaksud adalah kaum perempuan dan anak-anak kecil. Hendaklah kalian tidak membiarkan mereka menguasai harta yang dikuasakan kepada kalian. Jadilah kalian pengawas yang selalu memantau mereka."
Allah melarang para wali untuk menyerahkan kepada mereka harta-harta mereka karena takut disia-siakan dan dihabiskan. Karena Allah menjadikan harta itu untuk memenuhi kebutuhan hamba-hamba-Nya dalam kemaslahatan agama maupun dunia mereka. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada walinya agar tidak menyerahkan harta mereka kepada mereka. Akan tetapi ia harus menafkahi mereka dari harta itu, memberikan pakaian dengannya serta membelanjakan harta itu kepada hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan mereka, dunia maupun akhirat mereka, dan agar para wali berkata kepada mereka dengan perkataan yang baik, yatu, denga berjanji kepada mereka apabila mereka meminta harta mereka itu bahwa para wali itu akan memberikannya setelah mereka dewasa nanti.





QS. Al-Nisa': 6
  •               •                         
6. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

Penjelasan :
Di sini Allah tidak meyebutkan tingkat (standar) kecerdasan yang membuat harta itu wajib diserahkan kepada mereka. Yang disebutkan hanyalah kecukupan umur untuk menikah.
Ketetapan Allah memutuskan agar harta mereka ditahan utuk sementara waktu sampai mereka baligh dan menginjak usia dewasa. Pada yang demikian itu mengandung sayarat bahwa mereka tidak memiliki wewenang, sementara harta mereka ditahan untuk kepentingan dan kebaikan hidup mereka sendiri. Para walinya tidak diberi kuasa untuk membelanjakan atau menghamburkannya serta tidak digunakan untuk kepentingan memperbaiki kualitas hidup anak-anak yatim itu. Dengan demikian, semua yang mereka belanjakan dan gunakan untuk hal ini tidak sah, karena mereka tidak harus memerdekakan budak atau pun bersedekah.
Berkenaan dengan pemberian harta anak yatim tadi juga, yang pada ayat 2 surat al-Nisa' telah dijelaskan, wajib diberikan kepadanya bila telah tiba waktunya, maka turunlah ayat 5. yaitu bagaimana kalau anak yatim itu bodoh, pamdir, tolol. Dan dengan demikian bukan saja anak yatim lagi yang diperkatakan, tetapi semua orang yang bodoh dan pandir. Yaitu orang yang tidak dapat mengenadalikan harta bendanya, yang kalau diserahkan ke dalam tangannya, dalam sebentar saja akan musnah dihabiskannya kepada yang tidak berfaidah. Dia hanya pandai menghabiskan, tetapi tidak sangup memperkembangkan harta itu. Ada kalanya karena benar-benar kurang akal dan ada kalanya karena masih kecil. Maka datangllah ayat 5 ini:
”Janganlah kamu berikan kepada orag-orang yang bodoh harta kamu, yang telah dijadikan Allah bagimu pokok penghidupan padanya." (pangkal ayat 5). Meskipun harta itu jelas milik harta mereka sendiri, hak mereka sendiri, tetapi di dalam ayat ini dikatakan, bahwa harta itu adalah harta kamu, yaitu harta kamu yang terlingkung dalam masyarakat Islam. Menjadi kewajibanlah menjaga, agar harta itu jangan punah.
Ayat yang selanjutnya memberi keterangan yang lebih jelas lagi:
"Hendaklah kamu selidiki" atau kamu uji, atau kamu tinjau dengan seksama "anak-anak yatim itu haingga sampai waktunya untuk menikah." (pangkal ayat 6). Diuji dia, apakah telah sanggup memegang hartanya sendiri atau belum.di dalam ayat in disebut ujian itu sebelum menikah. Karena setelah dia menikah, berarti dia telah berdiri sendiri, mengatur pula isteri dan rumah tangganya.
Ayat di atas juga menunjukkakan bahwa larangan membelanjakan harta tetap berlaku bagi anak-anak yatim sampai terhimpun pada diri mereka dua criteria: baligh dan kecerdasan. Jika pada diri mereka baru terdapat salah satu dari keduanya , maka harta mereka belum layak untuk diserahkan kepada mereka.
Ayat di aatas mengandung dua pengertian :
Pertama, perintah untuk menghadirkan saksi. Ini semakna dengan ayat sebelumnya – bahwa perintah menghadirkan saksi itu hanya sekedar petunjuk, bukan kewajiban. Dan pada firman Allah, "Cukuplah Allah sebagai pengawas." Maksudnya, jika kalian tidak menghadirkan saksi.
Kedua, agar wali anak yatim yang diperintahkan untuk menyerahkan hartanya dan menghadirkan saksi dapat membuktiklan ketidak bersalahannya dengan persaksian itu, apabila anak yatim itu menuntutnya. Atau bias juga dia dperintahkan untuk menghadirkan saksi atas perkara itu. Tetapi, dia bias juga bebas tanpa harus menghadirkan saksi, jika hal itu memang dibenarkan oleh anak yatim yang bersangkutan.

Penyerahan di hadapan saksi
"kemudian apabila kamu menyerahkan harta mereka kepada mereka, hendaklah kamu adakan saksi atasnya."
Di sini jelaslah sudah, kalau sudah dating waktu waktu menyerahkan harta anak yatim itu ke tangannya, sebab dia sudah bias mengurus sendiri, hendaklah di hadapan saksi. Karena dngan adanya saksi, si pengawas dapat mempertanggung jawabkan bagaimana dia menjaga harta itu.
Jika dia miskin, sebagaimana disebut di pangkal ayat, sehingga ada harta itu yang termakan dengan ma'ruf, hendaklah diketahui. Patut dibayar; patut minta ridla, dan diharapkan ridlanya.
Ada juga pembicaraan ulama tentang hukumnya memakai saksi ketika penyerahan itu. Madzhab Syafi'I dan Maliki mengatakan, bahwa menyerahkan da hadapan saksi itu dalah wajib. Ada juga ulama, antaranya madzhab hanafi mengatakan ini hanya perintah sunah saja.
QS. Al-Nisa': 10
•              
10. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).


Ayat di atas menunjukkan, apabila Allah tidak mengecualikan di dalamnya selain dengan kerelaan hati anak-anak yatim itu bahwa kerelaan hati anak-anak yatim itu tidak lantas membuat konsumsi harta itu menjadi halal – wallahu a'lam. Dalam hal ini, anak yatim laki-laki maupun perempuan sama saja. Demkan pula halnya, menurut kami, orang yang dilarang membelanjakan hartanya (anak yatim), karena dia juga tidak diberi kuasa atas harata tersebut. Sebab dalam hal harta, seseorang dapat dikategorikan sebagai salah satu dari dua golongan ini :
a. Orang yang bebas menggunakan hartanya. Maka hokum harta yang halal baginya dan dia halalkan bagi orang lain adalah halal.
b. Atau terhalang dari hartanya. Maka harta yang diperbolehkan olehnya tidak diperbolehkan bagi orang yang diperbolehkan olehnya, karena dia tidak diberi kuasa untuk memperbolehkan hartanya bagi orang tersebut.
Dengan turunya ayat tersebut di atas, orang yang mengasuh anak yatim langsung memisahkan makanan dan minumannya dari makanan dan minuman anak yatim yang di asuhnya. Lalu ia menyisakan sebagian dari makanannya dan ia simpan untuk si yatim, sampai si yatim memakannya, atau makanan itu jadi rusak (membusuk). Karena yang demikian itu menyulitkan mereka (pengasuhanak yatim), lalu mereka melaporkan peristiwa itu kepada Rasulullah, maka Allah Ta'ala pun menurunkan ayat: "Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah: "Mengurus urusan mereka secara patut dan baik, dan jika kamu mnggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu." Setelah itu mereka pun menggabung makanan dan minuman mereka dengan makanan dan minuman anak yatim.

Pemeliharaan Anak dan Tanggung Jawab Terhadap Anak Bila Terjadi Perceraian
Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya, baik kedua orang tuanya masih hidup rukun atau ketika perkawinan mereka gagal karena perceraian.
Pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian dalam bahasa fiqih disebut dengan hadlanah. Al-san'ani mengatakan bahwa hadlanah adalah memelihara seseorang (anak) yang tidak bias mandiri, mendidik, dan memeliharanya untuk menghindarkan dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan madlarat kepadanya.
Dalam pasal 41 Undang-undang perkawinan dinyatakan:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu: bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Urutan 0rang-orang uyang berhak dalam masalah hadhanah :
Ibu, jika ada penghalang maka, ibunya ibu ke atas, ibunya bapak, saudara perempuan tunggal bapak ibu, saudara perempuan tunggal ibu, saudara perempuan tunggal bapak, anak saudara perempuan tungal bapak ibu, anak saudara perempuan tunggal ibu, bibi tunggal bapak ibu, bibi tungal ibu, bibi tunggal bapak, anak perempuan saudara perempuan tunggal bapak, anak perempuan saudara laki-laki tunggal bapak ibu, anak perempuan saudara laki-laki tunggal ibu, anak perempuan saudara laki-laki tungal bapak, dst.

Syarat-syarat hadhanah ada tujuh :
(1) Berakal, (2) Merdeka (3) Beragama Islam (4) Amanah (5) Iffah (6) Sepi dari suami (7) Bermuqim.
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah :
1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.
2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapa pun.
Bila kedua orang tua masih lengkap dan memenuhi syarat, mak yang paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih memiliki rasa kasih sayang dibandingkan dengan ayah, sedangkan biaya yang diperlukakn tetap dari ayah.
Di samping alasan kasih sayang, juga dari hadis Nabi dari Abdullah bin Mas’ud menurut yang diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, dan dikisahkan oleh Hakim:



Sesungguhnya seorang perempuan berkata kepada Nabi: “Ya Rasul Allah sesungguhnya anak saya ini perut saya yang mengandungnya, putting susu saya yang mengairinya dan haribaan sya yang memeluknya. Ayahnya telah menceraikan saya dan ingin memisahkan anak saya itu dari saya. Nabi SAW bersabda: “engkau lebih berhak untuk mengurusnya selama engkau belum kawin”.

AYAT-AYAT TENTANG ADOPSI
QS. Al-Ahzab: 4-5
•               •             •                            •        

4. Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).
5. Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Sebab turunnya ayat :
Diriwayatkan bahwasannya seorang laki-laki dan suku Quraisy, bernama Jamil dan Ma'mar Al-Fihri adalah seorang yang cerdas, cepat menangkap (hafal) apa yang ia dengar orang-orang Quraisy berkata: "Ia tidak akan dapat menangkap dengan cepat (hafal) segala sesuatu itu, kecuali bahwa ia mempunyai dua buah hati dalam rongganya. Jamil itu sendiri selalu berkata: "Aku mempunyai dua buah hati dan dengan masing-masing dari keduanya aku dapat mengerti lebih baik daripada akal yang dipunyai Muhammad. Maka ketika terjadi perang Badr dan kaum Musyrikin Quraisy kalah, sedang Jamil dalam peperangan itu termasuk di antara tentara Quraisy, Abu Sufyan menyebutnya, dan melihatnya menjinjing sebelah sandalnya, sedang yang sebelah lainnya masih melekat di kakinya, abu Sufyan bertanya: "bagaimana keadaan orang-orang kita?" Jamil menjawab: "Mereka kalah" Abu Sufyan bertanya lagi: "Dan mengapakah sebelah sandalmu di taganmu dan yang sebelah lain di kakimu?" Jamil menjawab: "Aku merasa bahwa kedua belah sandalku di kakiku." Sejak itu orang-orang Quraisy mengetahui bahwa seandainya ia emempunyai dua buah hati, ia tidak akan lupa bahwa sebelah sandalnya ada di tangannya. Kemudian Allah menurunkan ayat di atas.

Penjelasan ayat :
Allah menerangkan bahwa sebagaimana seseorang tidak mempunyai dua buah hati dalam rongganya, begitu juga tidak mungkin bahwa seorang istri yang didzihar akan menjadi ibu bagi suami yang mendzihar, juga anak yang diadopsi (anak angkat) tidak munglkin menjadi anak yang mengadopsi, sebab ibu yanghakiki adalah ibu yang melahirkan anaknya, "ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita-wanita yang melahirkan mereka." Begitu pula dengan anak-anak yang hakiki bagi seorang laki-laki ialah orang yang dating dari sulbi orang laki-laki itu. Maka tidak mungkin bagi seseorang memepunyai dua orang ayah.
Kemudian Allah SWT. memerintahkan agar anak-anak itu dinasabkan kepada bapak-bapak mereka yang sebenarnya. Sebab yang demikian itulah yang lebih adil dan lebih tepat.

Hikmah pensyari'atan :
"Bid'ah mengambil anak angkat di zaman Jahiliyah"
Bid'ah mengadopsi anak, atau mengambil anak angkat, adalah bid'ah Jahiliyah yang paling menonjol. Bid'ah tersebut demikian merajalelanya sampai ia menjadi agama yang turun temurun, yang tidak dapat dinon-aktifkan atau diganti, sebab ia adalah agama nenek moyang.
Seorang Arab di zaman Jahiliyah mengambil anak orang lain sebagai anaknya, dan mengatakan kepada anak agkatnya: "Kamu anakku, aku mewarisimu dan kamu mewarisi aku." Dengan demikian anak angkat itu menjadi puteranya, yang baginya berlaku semua hokum yang berlaku bagi anak kandung seperti waris, nikah, talak, kemuhriman karena pernikahan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan hal ihwal anak kandung menurut undang-undang yang terkenal di masa itu.
Maka untuk suatu hikmah yang dikehendaki oleh Allah, Allah telah mengilhami Nabi dan Rasul, untuk mengadopsi seorang anak (mengambil seorang anak menjadi anak angkatnya), mengikuti adat istiadat orang-orang Arab, dan mengambil anak angkat, agar perbuatan beliau itu kelak menjadi suatu syari'at bagi umat Islam, tentang pengakhiran hokum adopsi dan penghapusan bid'ah yang mungkar itu, yang menjadi kebiasaan orang-orang Arab selama waktu yang sangat panjang.

MUHASABAH AYAT
Muhasabah ayat-ayat tentang hadhanah

Beberapa ayat yang telah diuraikan di atas yang berkaitan dengan masalah hadhanah yakni ayat 2, 5, 6, 10 surat al-Nisa' dan ayat 220 surat al-Baqarah sangat berkaitan satu sama lain. Allah memberikan penjelasan yang sangat jelas tentang harta anak yatim. Yaitu adanya perintah untuk mmberikan haknya ketika sudah baligh, dan larangan mentasharrufkannya kepada hal-hal yang buruk.
Dalam kehidupan sehari-harinya, untuk keperluan belanja dan pakaian mereka, Allah memerintahkan agar harta mereka itu digunakan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhannya, dan berkatalah yang baik kepada mereka.
Dan jika mereka telah baligh dan cerdas, maka brikanlah harta-harta mereka dengan mendatangkan saksi-saksi untuk menghindari fitnah atau kesalah fahaman. Jika kalian miskin, maka boleh memakan harta mereka asal tidak melebihi batas kepatutan. Karena sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sama halnya menelan api sepenuh perutnya dan akibatnya bias masuk neraka.

Muhasabah ayat-ayat tentang adopsi
Secara umum dapatlah kita kaitkan antara ayat 4-5 surat al-Ahzab yang membahas masalah anak angkat (adopsi). Ayat ini turun untuk menghapus bid'ah Jahiliyah yang telah menjadikan anak angkat mereka menjadi anak sendiri.
Maka sesungguhnya Allah tidak menjadikan dua buah hati dalam ronganya. Oleh karenanya, Allah memeritahkan untuk memanggil mereka dengan memakai nama bapak mereka yang asli. Jika seandainya tidak mengetahui nama bapak-bapak mereka, maka panggillah dengan sebutan "saudaraku seagama".

KESIMPULAN
Hadhanah dan adopsi telah menjadi masalah yang sering kita hadapi. Kadang seseorang kurang begitu memperhatikan perihal hadlanah. Yakni bagaimana mengasuh anak dan membelanjakan hartanya yang lebih baik. Sebagai seorang wali yang mengasuhnya tidak boleh menyerahkan harta anak-anak tersebut sampai pada batas waktunya yaitu sudah baligh dan cerdas. Begitu pula harus menghadirkan saksi dalam penyerahan harta tersebut agar tidak terjadi fitnah sebagaimana diterangkan dalam ayat 2, 5, 6, 7, dan 10 surat al-Nisa’.
Adapun masalah adopsi (pengambilan anak angkat) sampai sekarang pun banyak orang-orang yang tidak tau tentang bagaimana status anak angkat trsebut yang benar menurut Islam. Kapasitas anak angkat itu (dalam ajaran Islam) tidak sama dengan anak sendiri. Ia tidak bias diberi warisan atau diwarisi dan juga tidak mahram sebagaimana dijelaskan dalam ayat 4 - 5 surat al-Ahzab. Ayat inilah yang menghapus bid'ah Jahiliyah tentang anggapan anak angkat diberlakukan sebagai anaknya sendiri pada masa itu.

PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya presentasikan, koreksi, saran atau kritik dari kawan-kawan semuanya sangatlah saya harapkan agar nantinya kekurangan atau kesalahan dalam penulisan makalah ini bisa menjadi lebih baik.








DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq, Dr. Tafsir Ibnu Katsir, penerjemah: Abdul Ghafar. Bogor: Pustaka Imam al-Syafi'I, 2001.
Hamka, Prof. Dr. Tafsir al-Azhar Juz 4. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1983.
Mujib, M. Abdul. dkk, Kamus Istilah Fiqih. Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995.
Mustafa Al-Maraghi, Ahmad. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: CV. Toha Putra, 1993.
Musthafa, Syaikh Ahmad al-Farran. Tafsir Imam Syafi'I. Jakarta: Al-Mahira, 2008.
Nasir al-Sa'di, Syaikh abdurrahim. Tafsir al-Sa'di, penerjemah: Muhammad Iqbal dkk, Jakarta: PUSTAKA SHIFA, 2007.
Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Kairo: Dar al-Hadis, 2004.
Al-San'ani, Subul al-Salam, juz 3. Kairo: Dar ihya' al-Turas al-"Araby, 1379H/1960 M.
Shaleh, Qamaruddin. dkk, Asbabun Nuzul. Bandung: CV. Diponegoro, 1995.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta; Kencana, 2006.
Taqiyuddin, al-Imam. Kifayat al-Akhyar, Jakarta: Dar Ihya al-Kutub, tt.

WAWASAN AL-QUR'AN TENTANG HAK ASASI MANUSIA

A. Pendahuluan
Di era globalisasi saat ini, HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan suatu isu yang sangat menyedot perhatian dan menjadi agenda yang makin penting, terutama di dunia ketiga, termasuk dunia Islam. Isu HAM bahkan menjadi factor pertimbangan kebijakan luar negeri setiap Negara. Lebih dari itu, keharusan adanya penghormatan terhadap HAM ini menjadi pra-syarat dalam hubungan Internasional. Suatu Negara yang dinilai dan diketahui mengabaikan HAM, dapat dipastikan ia akan menjadi sasaran kritik dan diisolir dari pergaulan antar bangsa. HAM di sini dimaksudkan sebagai hak-hak tertentu, yang melekat secara eksistensial dalam identitas kemanusiaan tanpa melihat kebangsaan, agama, jenis kelamin, status social, pekerjaan, kekayaan atau karrakteristik etnik, budaya dan perbedaan social lainnya.
Sesuaikah Islam dengan wacana modern yanag bernama HAM? Sebuah pertanyaan yang menjadi bahan peredebatan di kalangan umat Islam sekarang ini. Hamper di semua masyarakat non-Barat , wacana HAM itu menjadi bahan debat yang actual. Mereka memunculkan pertanyaan-pertanyaan: "Apakah barat boleh memaksakan satu paradigma tertentu terhadap masyarakat non-Barat? Sementara sudah menjadi suatu kebenaran public bahwa masing-masing masyarakat dan lingkungan ekebudayaan mempunyai acuan normative dengan standart yang berbeda-beda pula. Haruskah suatu acuan normative yang lahir dari konteks kebudayaan tertentu diberlakukan secara universal? Apakah ini bukan merupakan bagian dari al-Gazwu al-fikr (invasi cultural) dunia Barat terhadap dunia ketiga?
Perdebatan seputar HAM sangat menarik untuk dikaji, terutama bagi kaum akademisi yang notabene di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), sebagai salah satu pintu masuk untuk mengaktualisasikan sebuah visi sekaligus usaha mencari kejernihan permasalahan.






B. Pembahasan-pembahasan
I. Pengertian dan Hakikat Hak Asasi Manusia :
Secara definitive "hak" merupakan unsure normative yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya.
Yang dimaksud "hak-hak asasi" dalam judul ini ialah hak-hak asasi manusia yang dalam bahasa Inggrisnya dikenal "human rights". Sementara itu HAM dalam Islam dikenal dengan istilah huquq al-insan al-dlaruriyyah. Sebagaimana diketahui, hak-hak asasi manusia itu disepakati dalam bentuk resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam sidangnya di Paris pada tanggal 10 Desember 1948. tetapi tidak berarti bahwa hak-hak asasi manusia baru dilahirkan pada tahun 1948 melainkan sudah mempunyai sejarah yang lama.
Menurut pendapat Jan Materson (dari Komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa "Human rights could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and without which can not live as human being" (hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia). Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hal kodrati yang tidak bias terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.
Dalam Undang-Undang (UU) nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 disebutkan bahwa "Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluq Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hokum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia".
Berdasarkan beberapa rumusan pengertian HAM di atas, diperoleh suatu kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap indifidu, masyarakat dan Negara. Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan pemenuhan terhadap KAM (Kewajiban Asasi Manusia) dan TAM (Tanggung Jawab Asasi Manusia) dan kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. Jadi dapat disimpulkan bahwa hakikat dari HAM adalah keterpaduan antara HAM, KAM dan TAM yang berlangsung secara sinergis dan seimbang.
Sekaitan dengan hak-hak asasi manusia, dijelaskan dalam pasal 2 tentang HAM yaitu: setiap orang mempunyai hak atas semua hak kebebasan yang termaktub di dalam pernyatan ini, tanpa kekecualian macam apapun, seperti asal usul keturunan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendirian politik atau pendirian lainnya, kebangsaan atau asal-usul social, hak milik, status kelahiran, ataupun status lainnya. Selanjutnya tidak aka nada perbedaan sama sekali atas dasar setatus politik, hokum ataupun status internasional negeri atau wilayah seseorang berasal, apakah negeri itu berasal, apakah negeri itu merdeka, merupakan wilayah perwalian atau dikenal pembatasan-pembatasan kedaulatan lainnya. Dan juga disebutkan dalam pasal 3 yaitu: Setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang.

II. HAM: Sejarah Kelahiran dan Perkembangannya
Wacana HAM sebenarnya sudah muncul semenjak abad ke-17 dan 18 Miladiyah. Kala itu bermula sebagai reaksi terhadap absolutisme para raja dan kelompok feodalis yang ditujukan terhadap rakyat yang diperintah atau manusia yang dipekerjakan. Pada masa itu secara hirarkhis dikhotomi masyarakat, mereka diklasifikasikan menjadi dua lapisan; lapisan atas (minoritas) di satu sisi, yang memiliki hak-hak. Dan lapiosan atas (mayoritas) di lain pihak, yang hanya meiliki kewajiban-kewajiban. Dalam berinteraksi, kelompok atas yang minoritas (ningrat) lebih menunjukkkan sifat kesewenang-wenangan, hinga puncaknya memerkosa kodrat kemanusiaan bagi kelas bawah, kemudian pada fase berikutnya melahirkan system perbudakan.
Secara historis, ide tentang HAM berasal dari gagasan tentang hak-hak alami. Oleh karenanya HAM diangap sebagai bagian dari hakikat kemanusiaan yang paling fundamental. Di dunia barat ide tentang HAM merupakan hasil perjuangan kelas social yang menuntut tegaknya nilai-nilai dasar kebebasan dan persamaan. Persetujuan kelas tersebut secara kronologis tercermin dengan lahirnya Magna Carta (Piagam Agung) pada 15 Juni 1215 di Inggris, sebagai bagian pemberontakan para baron Inggris terhadap raja Jhon. Disusul dengan Bill of Rights pada 1689 yang juga di Inggris berisi penegasan pembatasan kekuasaan raja.
Kemudian disusul dengan The American Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan Amerika) pada 6 Juli 1776. lalu disusul Declaration des droit de I' home et du citoyen (pernyataan haka-hak manusia dan wearga Negara), suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan revolusi Prancis, 4 Agustrus 1789 dengan slogannya yang populer pada waktu itu: Liberte (kebebasan), Egalite (Persamaan), dan Feternite (Persaudaraan) sebagai bentuk perlawanan dan penolakan terhadap rezim yang berkuasa sebelumnya.
Proses pertumbuhan HAM mencapai puncaknya, ketika perang dunia II usai, PBB pada tanggal 10 Desember 1948, yang didukung oleh sebagian besar anggota PBB mendeklarasikan The Universal of Human Rights yang berisi 30 pasal. Pasal 1 dan 2 berisi pernyataan umum mengenai bahwa manusia mempuyai hak yang didapatkan sejak lahir dan tanpa diskriminasi tanpa dasar apapun. Pasal 3 hingga pasal 27 berkaitan dengan ekonomi social, sedangkan tiga pasal terakhir (28 hinga 30)menegaskan kebutuhan akan sebuah kerangka kerja di mana hak-hak di atas dapat direalisasikan.
Keputusan di atas dimantapkan lagi dengan dua dokumen lainnya yang merupakan hasil kesepakatan internasional sebagai acuan bagi pengertian HAM. Keduanya adalah "International Convent on Economic and Cultural Right"(31 Januari 1976) dan "International Convent on Civil and Political Rights"(23 Maret 1976)

III. Bentuk-Bentuk Hak Asasi Manusia
Dalam Deklarasi Universal tentang HAM (Universal Declaration of Human Rights) atau yang dikenal dengan istilah DUHAM, Hak Asasi Manusia terbagi ke dalam beberapa jenis, yaitu :
Hak personal, hak legal, hak sipil dan politik yang terdapat dalam pasal 3 – 21 dalam DUHAM tersebut memuat :
1. Hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi;
2. Hak bebas dari perbudakan dan penghambaan;
3. Hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak berprikemanusiaan ataupun merendahkan derajat kemanusiaan;
4. Hak untuk memperoleh pengakuan hokum dimana saja secara pribadi;
5. Hak untuk pengampunan hokum secara efektif;
6. Hak bebas dari penangkapan, penahanan atau pembuangan yang sewenang-wenang;
7. Hak untuk peradilan yang independent dan tidak memihak;
8. Hak untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah;
9. Hak bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal, maupun surat-surat;
10. Hak bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik;
11. Hak atas perlindungan hokum terhadap serangan semacam itu
12. Hak bergerak;
13. Hak memperoleh suaka;
14. Hak atas satu kebangsaan;
15. Hak untuk menikah dan membentuk keluarga;
16. Hak untuk mempunyai hak milik;
17. Hak bebas berpikir, berkesadaran dan beragama;
18. Hak bebas berpikir dan menyatakan pendapat;
19. Hak untuk berhimpun dan berserikat;
20. Hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dan atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat.

Sedangkan hak ekonomi, social dan budaya berdsarkan pada pernyataan DUHAM menyangkut hal-hal sebagai berikut, yaitu :
1. Hak atas jaminan social;
2. Hak untuk bekerja;
3. Hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama;
4. Hak untuk bergabung ke dalam serikat-serikat buruh;
5. Hak atas istirahat dan waktu senggang;
6. Hak atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan;
7. Hak atas pendidikan;
8. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari masyarakat.

Sementara itu dalam UUD 1945 (amandemen I – IV UUD 1945) memuat hak asasi manusia yang terdiri dari hak :
1. Hak kebebasan untuk mengeluarkan pendapat;
2. Hak kedudukan yang sama di dalam hokum;
3. Hak kebebasan berkumpul;
4. Hak kebebasan beragama;
5. Hak penghidupan yang layak;
6. Hak kebebasan berserikat;
7. Hak memperoleh pengajaran atau pendidikan.

Selanjutnya secara opeasional beberapa bentuk HAM yang terdapat dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tantang HAM sebagai berikut :
1. Hak untuk hidup;
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan;
3. Hak mengembangkan diri;
4. Hak memperoleh keadilan;
5. Hak atas kebebasan pribadi;
6. Hak atas rasa aman;
7. Hak atas kesejahteraan;
8. Hak turut serta dalam pemerintahan;
9. Hak wanita;
10. Hak anak.

IV. HAM Dalam Tinjauan al-Qur'an
Al-Qur'an sebagai sebuah kitab dengan ajarannya yang universal dan komprehensif meliputi akidah, ibadah, dan mu'amalat, yang masing-masing memuat ajaran tentang keimanan; dimensi ibadah memuat ajaran tentang mekanisme pengabdian manusia terhadap Allah; dengan memuat ajaran tentang hubungan manusia dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitar. Kesemua dimensi ajaran tersebut dilandasi dengan syari'at atau fiqih. Dalam konteks syari'at atau fiqih itulah terdapat ajaran tentang hak asasi manusia (HAM). Adanya ajaran tentang HAM dalam islam menunjukkan bahwa Islam sebagai agama telah menempatkan manusia sebagai makhluq terhormat dan mulia.
Sedangkan ketentuan HAM yang terdapat dalam Deklarasi Kairo adalah sebagai berikut :
1. Hak persamaan dan kebebasan (surat al-Isra: 70; al-Nisa: 58, 105, 107, 135; al-Mumtahanah: 8)
2. Hak hidup (surat al-Maidah: 45; al-Isra: 33)
3. Hak perlindungan diri (surat al-Balad: 12-17; al-Taubah: 6)
4. Hak kehormatan pribadi (surat al-Taubah: 6)
5. Hak berkeluarga (surat al-Baqarah: 221; al-Rum: 21; al-Nisa: 1; al-Tahrim: 6)
6. Hak kesetaraan wanita dengan pria (surat al-Baqarah: 228; al-Hujurat: 13)
7. Hak anak dari orang tua (surat al-Baqarah: 233; al-Isra: 23-24)
8. Hak mendapatkan pendidikan (surat al-Taubah: 122; al-Alaq: 1-5)
9. Hak kebebasan beragama (surat al-Kafirun: 1-6; al-Baqarah: 156; al-Kahfi: 29)
10. Hak kebebasan mencari suaka (surat al-Nisa: 97; al-Mumtahanah: 9)
11. Hak memperoleh pekerjaan (surat al-Taubah: 105; al-Baqarah: 286; al-Mulk: 15)
12. Hak memperoleh perlakuan sama (surat al-Baqarah: 275-278; al-Nisa: 161; al-Imran: 130)
13. Hak kepemilikan (surat al-Baqarah: 29; al-Nisa: 29)
14. Hak tahanan (surat al-Mumtahanah: 8)
Firman-firman Allah dalam al-Qur'an yang menyangkut hak-hak asasi manusia itu antara lain dapat disebut sebagai berikut:

Toleransi di tengah keragaman makhluk Tuhan
a. Sutrat al-Hujarat ayat 13.
 ••           •      •    
"Wahai umat manusia ! sesungguhnya telah kami ciptakan kamu (terdiri dari laki-laki dan perempuan dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal; sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling taqwa".

Asbab al-Nuzul :
Dikisahkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kepada Bani Bayadhah agar mereka mengawinkan salah satu perempuan dari suku mereka dengan Abu Hindun. Akan tetapi mereka menolak, senbari berkata, "apakah kami mengawinkan anak-anaka perempuan kami dengan para budak? kemudian Allah menurunkan ayat tersebut sebagai bukti bahwa antara kalangan budak dan kalangan mereka adalah setara. Yang membedakan di antara mereka bukan status socialnya, melainkan ketakwaannya.



Pengertian secara umum:
Ayat ini mengajarkan pada kita tentang persamaan harkat dan martabat manusia. Yang menjadikan seseorang lebih mulia satu dari yang lain dalam pandangan Allah, bukanlah jenis kelaminnya, dan bahkan bukan juga warna kulitnya melainkan taqwanya.
Allah menciptakan manusia dalam jenis laki-laki dan perempuan, lalu menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Keragaman tersebut merupakan suatu kehendak Tuhan yang sudah dicatat di singga sanan-Nya, bahwa setiap makhluk-Nya harus mampumembangun toleransi dan saling pengertian di antara mereka.
Ayat tersebut merupakan ayat Makkiyah, atau ayat yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah al-Munawwarah. Ayat tersebut hendak menyapa manusia dalam kapasitas primordilanya sebagai manusia. Karena itu, ayat tersebut dimulai dengan, Ya ayyuha al-naas (wahai manusia). Di antaranya bertujuan unuk mengenalkan kepada manusia tentang pentingnya humanisme. Setiap manusia harus menghormati manusia yang lain. Setiap bangsa harus menghargai kebebasan dan kemerdekaan bangsa yang lain. Begitu pula setiap suku harus menghormati keberadaan suku yang lain.

Tidak ada paksaan dalam agama
b. Surat al-Baqarah ayat 256
      ••                     
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada bubul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Asbab al-Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa sebelum Islam datang, ada seorang wanita yang selalu kematian anaknya. Ia berjanji kepada dirinya, apabila ia mempunyai anak dan hidup akan dijadikan Yahudi. Ketika Islam dating dan kaum Yahudi Bani al-nadlir diusir dari Madinah (karena pengkhianatannya), ternyata anak tersebut dan beberapa anak lainnya yang sudah termasuk keluarga Anshar, terdapat bersama-sama kaum Yahudi. Berkatalah kaum Anshar: "Jangan kita biarkan anak-anak kita bersama mereka ". maka turunlah ayat tersebut di atas sebagai teguran bahwa tidak ada paksaan dalam Islam. Diriwayatkan oleh Abu Daud, Nasai dan Ibnu hibban yang bersumber dari Ibnu Abbas.

Pengertian secara umum :
Allah memberitahukan bahwasannya tidak ada paksaan dalam agama. Hal ini terjadi ketika sebagian kaum Anshar ingin memaksa anak-anak mereka yang beragama Yahudi dan Nashrani untuk memeluk agama Islam. Kemudian Allah memberitahukan bahwa dengan diturunkan al-Qur'an dan diutusnya Rasulullah SAW serta ditolongnya orang-orang yang dekat dengan Allah, maka menjadi jelaslah antara petunjuk edengan kesesatan, dan antara kebenaran dengan kebatilan.
Kebebasan beragama
Al-Qur'an dan al-Sunnah menegaskan bahwa keberagamaan harus didasarkan pada kepatuhan yang tulus kepada Allah, "mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus" (QS. Al-Bayyinah: 5). Karena itu pula, "tidak ada paksaan dalam menganut agama" (QS. Al-Baqarah: 256) sebab beragama sumbernya adalah jiwa dan nurani manusia, dan ketika terjadi paksaan agama, terjadi pula pemasungan nurani. Kewajiban para Rasul, demikian juga penganjur-penganjur agama Islam, adalah sekedar menyampaikan.

Keberagaman agama adalah Sunnatullah
c. Surat Yunus ayat 99
        •    ••    
"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?".

Pengertian secara umum
Allah menerangkan tentang sunnatullah mengenai umat beserta Rasul-rasulnya. Juga mengenai. Juga mengenai diciptakannya manusia dalam keadaan siap untuk beriman atau kafir, dan untuk menjadi orang yang baik atau jahat. Termasuk mengenai kaitan antara kehendak Allah dan hikmah-Nya, dengan perbuatan-perbuatan Allah dan perbuatan hamba-hamba-Nya. Bahwa semua itu, sesuai dengan kehendak dan hikmah Allah Ta'ala.
Ayat ini juga mengajarkan supaya manusia bersikap toleran dalam hal agama, termasuk juga keyakinan atau kepercayaan; kalau ada pembatasan, maka batas itu ialah selama yang satu tidak bersikap, apalagi bertindak menyerang yang lain. Ini tampaknya merupakan sehimpunan tanggung jawab toleransi kepada sesama manusia sebagaimana diteladani Rasulullah SAW sejak lama sebelum kenabiannya. Bila wajah intoleransi yang lebih mengemuka, maka harus diakui ajaran mulia yang dibawa Nabi akan jauh api dari pangang. Setidaknya akan muncul anggapan , bahwa tidak ada kesesuaian antara nilai-nilai toleransi yang diusung Nabi dengan realitas social yang penuh dengan tindakan intoleransi. Di tengah dahsyatnya arus globalisasi, fundamentalisme, puritanisme, bahkan radikalisme dan terorisme sementara ini menggantikan wajah Islam yang luhur dan ramah.

Perintah keadilan
d. Surat al-Maidah ayat 8
          •            •        
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan".

Pengertian secara umum
Dan janganlah permusuhan dan kebencian kamu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk bersikap tidak adil terhadap mereka. Jadi, terhadap mereka pun kamu harus tetap memberi kesaksian dengan hak yang patut mereka terima. Juga, putusilah mereka sesuai dengan kebenaran. Karena, orang mukmin mesti mengutamakan keadilan daripada berlaku aniaya dan berat sebelah. Bahwa keadilan itu , adalah suatu kewajiban yang harus ditunaikan tanpa pandang bulu.
Islam selalu selalu menghormati prinsip-prinsip kemanusiaan baik di kala perang maupun dalam keadaan damai. Tawanan-tawanan perang tidak boleh disiksa, disakiti, diperlakukan tidak manusiawi, dikhianati dan dibunuh, namun harus diperlakukan dengan adil dan dihormati hak-haknya. Islam memproklamirkan perlunya penghormatan kepada manusia dan menjunjung tinggi hak asasi manusia sejak empat belas abad yang lalu, sebagaimana firman Allah SWT: "Dan sesungguhnyatelah kami muliakan anak-anak Adam". (QS. Al-Isra': 70).

Munasabah Ayat
Sejak awal harus diakui, bahwa tanpa ajaran toleransi, agama-agama akan kehilangan élan vitalnya. Islam sebagai agama yang datang paling akhir mempunyai pandangan yang relative komprehensif tentang pentingnya cinta-kasih. Islam adalah agama yang ajarannya tidak hanya untuk kalangan Muslim, tetapi juga untuk manusia seantero dunia, agar menebarkan kerukunan, cinta damai dan saling hormat menghormati. Sebagaimana dipesankan dalam al-qur'an surat al-Hujarat ayat 130 yang berisi tentang pentingnya toleransi. Allah menjadikan manusia berbangsa-bangsa, bersuku-suku supaya saling mengenal tidak untuk bermusuhan. Karena sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.
Manusia dalam kodratnya adalah makhluk social. Makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia itu tidak bisa hidup secara individual. Antara satu sama lainnya saling membutuhkan. Oleh karenanya, manusia perlu toleransi sebagai pilar utama untuk menjalin kerukunan di antara sesama, di samping itu, toleransi telah menjadi langkah awal untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia. Sesame manusia mempunyai hak yang sama, di antaranya adalah hak beragama, hak hidup, dan sebagainya. Hak kebebasan beragama tercermin dalam surat al-Baqarah ayat 256 telah memberikan pesan bahwa tidak ada unsure paksaan untuk memasuki agama. Dan sesungguhnya telahh jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah.
Manusia di muka bumi ini tidak bisa hidup dengan seragam, ada yang iman dan ada pula yang kufur, dan juga memiliki pandangan teologis yang berbeda-beda. Kesemuanya ini adalah sunnatullah. Meskipun manusia tak henti-hentinya menyerukan supaya beriman kepada Allah, namun mereka tidak akan bisa. Maka, jelaslah yang diwahyukan Allah SWT dalam surat Yunus ayat 99; "Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya".
Meskipun dalam realitanya Islam tidak hidup satu agama melainkan berdampingan dengan agama-agama lain, dengan berbagai suku, dan bangsa. Namun al-Qur'an hadir sebagai pembawa rahmat dan mengajarkan keadilan. Melarang menebarkan kebencian terhadap terhadap suatu kaum, sehingga mendorong untuk berlaku tidak adil. Di dalam surat al-Maidah ayat 8, Allah memerintahkan agar orang-orang yang beriman selalu berlaku adil. Oleh akarena itu semua manusia mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan keadilan.

C. Kesimpulan
Yang dimaksud "hak-hak asasi" ialah hak-hak asasi manusia yang dalam bahasa Inggrisnya dikenal "human rights".". HAM dalam Islam dikenal dengan istilah huquq al-insan al-dlaruriyyah. Dan disepakati dalam bentuk resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Paris pada tanggal 10 Desember 1948. Namun wacana HAM sebenarnya sudah muncul semenjak abad ke-17 dan 18 Miladiyah.
Menurut pendapat Jan Materson (dari Komisi HAM PBB), HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia).

HAM Dalam Tinjauan al-Qur'an
Adanya ajaran tentang HAM dalam al-Qur'an menunjukkan bahwa Kitab Suci yang membawa pesan moral dan telah menempatkan manusia sebagai makhluq terhormat dan mulia.
Sedangkan ketentuan HAM yang terdapat dalam Deklarasi Kairo adalah berdasarkan pada ayat-ayat al-Qur'an sebagaimana dijelaskan di atas.

D. Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami presentasikan di hadapan bapak dosen dan kawan-kawan mahasiswa sekalian. Saran dan kritik selalu kami harapkan, agar makalah hari esok lebih baik dan benar.









E. Daftar Pustaka
• Harjono, Anwar DR. Da'wah dan Masalah Sosial Kemasyarakatan. Jakarta: Media Dakwah, 1987.
• Husin, Said Aqil. Al-Qur'an: Membangun Tradisi Keshalihan Hakiki. Ciputat Jaksel: Ciputat Press, 2003.
• Jabir, Abu Bakar al-Jaziri. Tafsir al-aisar, diterjemahkan oleh M.Azhari Hatim dan Abdurrahim Mukti. Jakarta: Dar al-Sunnah Press, 2006.
• Misrawi, Zuhairi. Al-Qur'an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multukulturalisme. Jaksel: Penerbit Fitrah, 2007.
• Mustafa, Ahmad Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi. Diterjemahkan oleh K.Anshori Umar Sitanggal, dkk. Semarang: CV. Toha Putra, 1993.
• Al-Qurthubi, Imam. Tafsir al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, Jild VIII. Beirut: Dar al-Fikr, 1993.
• Rosyada, Dede.dkk. Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.
• Shaleh, Qamaruddin, dkk. Asabab al-Nuzul. Bandung: CV. Diponegoro, 1995.
• Shihab, M.Quraisy. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur'an. Bandung: Mizan, 2001.
• Siraj, Said Aqil Prof. DR. Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri Ciganjur Jakarta: Fatma Press, 1999.
• Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Qur'an dan Paradigma Peradaban, diterjemahkan oleh M. Thohir. Yogyakarta: DINAMIKA, 1996.