Minggu, 08 Maret 2009

WAKIL RAKYAT ATAU WAKIL RAYAP…? EKSISTENSI PARA CALEG DI HADAPAN MASYARAKAT

Pada bulan April 2009 mendatang para caleg dari berbagai partai akan berpesta ria. Ramainya bagaikan kapal pecah yang memuat barang-barang dagangan. Sekerumunan manusia pada berbondong-bondong mendekatinya laksana semut-semut hitam yang mengerubungi gula. Janji-janji manis para calon wakil rakyat terus ditebarkan. Dan tanpa hentinya para tamu berdatangan, mengenal, menyapa, pura-pura akrab kepada para calon wakil semut-semut hitam itu. Mereka tak tahu bahwa sesungguhnya yang didatangi itu adalah gembongnya semut yang juga nantinya akan menghisap darah rakyat. Hanya semut-semut bodohlah yang suka mendekat para calon wakil rayap toh nantinya mereka akan ditinggalkan juga.
Biarkan saja para calon legeslatif yang mendekati kita, jangan malah kita yang ingin kenal dengan mereka. Pasti nantinya dan tak lama kemudian setelah mereka terpilih akan lupa juga. Kalau perlu kita bohongi duluan sebelum kita dibohongi. Atau kita tipu sebelum kita ditipu. Kita liciki sebelum diliciki. Kan sekarang jamannya tega-tegaan. Masak para wakil rakyat yang tega dengan nasib rakyatnya selalu kita dukung, kita hormati, kita beri panggung untuk kampanye? Bodoh amat teman, kalau kita sampai mendukung, yang gak keluarganya, bukan saudaranya, bukan temannya dan bukan apa-apanya nggak pentinglah repot-repot apalagi sampai lupakan pekerjaan demi menyumbang suara untuk mereka. Wakil rakyat kita itu tidak pernah menyuarakan aspirasi rakyat.
Bicara eksistensi para caleg sudah menjadi hal yang membualkan, menyebalkan, dan membosankan. Tapi ingat kawan, mereka itu sudah pandai dengan wilayah garapannya. Bagaimana mereka bisa diterima di tengah-tengah masyarakat, banyak cara yang mereka lakukan. Mulai dari yang sembunyi-sembunyi sampai terang-terangan itu memang bakatnya. Dasar ahli potitik yang memiliki banyak wajah. Dalam setiap kesempatan bisa berubah-rubah. Jika bertemu kiyai bisa berlagak kiyai dan bisa ngomong parmasalahan umat, ketemu petani bisa berlagak petani dan mampu ngomong problem pertanian, ketemu mahasiswa malah lebih gampang cara adaptasinya. Kita tahulah….mahasiswa kan mengidap penyakit kanker (kantong kering) jadi gampang tuh atasannya. Malahan para politisi suka ngompreng dengan anak kampus. Bikin acara apa ajalah yang penting bisa ditumpangi para bandot politik. Rusak kawan sekarang ini.
Mau bagaimana lagi dan apa lagi yang harus kita lakukan. Memang Negara lagi hancur ya biarlah hancur. Nantikan pasti ada pembangunan baru, model baru, dan serba baru. Tapi entah kapan itu dilaksanakan. Belum pernah ada rapat, belum pernah ada rencana mau dibangun lagi yang lebih baru. Kan penghuninya masih ada, ya tokoh-tokoh tua itulah yang belum mau mundur. Sok kuat, jangan-jangan meniru Harifin Tumpa yang jatuh saat mau melantik para hakim. Sadarlah para pemimpin yang belum mampu mengatasi segala persoalan bangsa. Bangsa kita ini menangis, merintih, resah, lemah, dan miskin. Nggak tahan Tuhan kalau dipertahankan. Kapan engkau kirim hambamu yang sholih ke muka bumi tuk memimpin dan bisa mengemban amanah sebagai khalifatu al-ardl (pemimpin di muka bumi). Kami mendamba datangnya Ratu Adil, apakah dia itu Imam Mahdi yang baru turun mejelang kiamat tiba? Atau sejenis Imam Mahdi yang datang dengan muka senyum, menebar kasih sayang, toleransi, menciptakan keadilan dan memberantas kemungkaran?.
Tapi rasanya masih jauh dambaan itu tercapai. Melihat kenyataan generasi sekarang ini yang dikader oleh orang-orang bobrok. Generasi yang dikhianati pasti akan mengkhianati, generasi yang dikecewakan pasti akan mengecewakan selalu terjadi bergantian. Kalau tidak salah bangsa kita ini belum mampu menyaingi seperti bangsa-bangsa lain yang sudah maju sebelum seratus tahun berjalan setelah proklamasi kemerdekaan. Kalimat ini bukan tanpa alasan. Melihat sejarah kejayaan bangsa terdahulu, pembaharuan (mujaddid) terjadi setelah satu abad. Bisa jadi seratus tahun setelah kelahiran Budi Utomo yang dikenal dengan hari Kebangkitan Naisonal atau seratus tahun setelah kemerdekaan RI.
Mengakhiri wacana yang agak berani, senantiasa kita selalu menjadi bangsa yang kritis dan optimis. Jangan menjadi bangsa penakut dan pesimis. Mari kita gelorakan semangat optimisme bangsa. Kita adalah kita, bukan mereka, bukan bangsa sana. Kita maksimalkan dan perdayakan orang-orang kita, produk-produk kita sendiri agar menjadi bangsa yang kuat dan mandiri. Jangan lemah sahabat-sahabatku sekalian! Hari ini mungkin kita tertindas, teraniaya, lemah namun hati kita, fikiran kita, mata batin kita Insya allah selalu memancarkan cahaya menerangi alam sekitar dengan segala usaha yang tiada henti. Mampu memberi manfaat kepada sesame atas pengabdian kita kepada mereka. Meskipun hanya setitik yang bisa kita berikan tiadalah sia-sia. Khidmatkanlah jiwa dan raga ini untuk mengabdikan diri kepada bangsa dan agama.

Jakarta, 02 Januari 2009
Silahkan kirim komentar anda, saran, atau kritik ke alamat berikut :

Atau sms (081 388 729 302)

1 komentar:

  1. assalamualaikum wr wb...
    hm...tulisan mas bagus juga, hanya saja setelah baca postingan mas...saya jadi agak heran dengan pemikiran mas. mas berharap kalau negeri ini dipimpin oleh seorang pemimpin yang bisa mengemban amanah ini, tapi apakah mas sudah ikut berkontribusi untuk memunculkan pemimpin yang amanah itu??
    setahu saya,,,sesuai dengan yang mas katakan kemarin pilihan mas yang jadi pemimpin negeri ini adalah....tapi apakah mas sadar apakah orang yang hendak mas pilih itu benar-benar akan bisa amanah...(maaf sebelumnya). bukankah orang yang bisa mengemban amanah itu adalah orang yang orientasi hidupnya just to Allah swt, yang terpancar dengan akhlaknya yang baik.kalaupun mencari sosok seperti itu susah...tapi setidaknya kita berusaha untuk memilih yang terbaik...yang bisa membawa negeri ini ke arah yang lebih baik....

    bukankah memilih pemimpin yang dzalim itu berdosa............
    bahkan akan lebih berdosa lagi bila menyerukan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin yang dzalim.............????

    BalasHapus