Minggu, 08 Maret 2009

NUSYUS, SYIQAQ, DAN FUNGSI HAKAMAIN DALAM PENYELESAIAN MASALAH

Penadahuluan
Sebuah jalinan kasih sayang yang telah dibangun oleh mempelai laki-laki dan perempuan yang sah dengan bukti adanya ijab dan qabul dalam suatu pernikahan yang dihadiri minimal empat orang yaitu mempelai laki-laki, dua orang saksi, dan seorang wali dari pihak mempelai wanita sebagai syarat sahnya nikah, telah menjadi suatu ikatan yang kuat (misaqan ghalidla).
Pada saat itu pula, tiadalah niat pernikahan itu hanyalah untuk memenuhi kebutuhan hawa nafsu belaka, namun pernikahan itu dilangsungkan karena mengikuti sunnah Rasul semata dan untuk meneruskan keturunan.
Namun dengan berjalannya waktu, hidup itu tak selamanya indah seperti yang kita bayangkan. Dalam sebuah rumah tangga pun, sering terjadi percekcokan di antara suami istri. Adakalanya disebabkan oleh factor ekonomi yang kurang mencukupi kehidupan sehari-hari, dan ada kalanya factor perselingkuhan, dan lain sebagainya.
Kita pun sering melihat tetangga-tetangga yang tinggal di sebelah, kehidupan rumah tangganya yang kurang harmonis, sehingga istri seringkali durhaka (nusyuz) tidak taat kepada suami dan bahkan tidak mau tidur seranjang untuk digauli sebagaimana hak dan kewajiban suami istri yakni mengadakan hubungan sexual.
Hal ini perlu difahami betul, terutama bagi seorang suami, bagaimana menyikapi ketika istri sedang nusyuz. Tentunya dalam ajaran Islam, al-Qur'an telah mengaturnya sedemikian rupa tips-tips menghadapi istri yang sedang durhaka (nusyuz) sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Nisa' ayat 34. Dan fiqih pun memberikan penjelasan dengan panjang lebar tentang permasalahan tersebut.
Dengan diwahyukannya surat al-Nisa' ayat 34, agar seorang muslim memahami dan mampu bernbuat bijak jika terjadi permasalah rumah tangga. Seorang suami tidak boleh serta merta melukai istri dengan pukulan yang menyakitkan. Karena Islam tidak mengajarkan yang demikian, telah ada aturan yang baik dan benar ketika suami tengah menghadapi permasalahan seperti itu. Meskipun memukul istri itu dibenarkan dalam Islam, namun memukul yang tidak sampai melukai istri dan dengan niatan mendidik.
Ketika permasalahan yang dihadapi suami istri tak kunjung usai, belum menemukan jalan keluar, maka Islam pun telah mengatur dengan begitu rapi yaitu dengan mendatangkan dua hakim (hakamain) dari pihak suami maupun istri yang berfungsi untuk memberikan solusi atau jalan tengah ketika permasalahan itu sedang alot dari pasangan suami istri.
Pengertian Nusyuz
Nusyuz berarti durhaka, maksudnya seorang isteri melakukan perbuatan yang menentang suami tanpa alasan yang dapat diterima oleh syara’. Ia tidak menaati suaminya,atau menolak diajak ke tempat tidurnya.
Dalam kitab Fathual-Mu’in disebutkan bahwa termasuk perbuatan nusyuz, jika isteri enggan bahkan tidak mau memenuhi ajakan suami sekalipun ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu.
Ada beberapa perbuatan yang terrmasuk nusyuz yang dilakukan oleh isteri antara lain sebagai berikut :
1. Istri tidak mau pindah mengikuti suami untuk menempati rumah yang telah disediakan sesuai dengan kemampuan suami, atau istri meninggalkan rumah tanpa izin suami.
2. Apabila keduanya tinggal di rumah istri atas izin istri, kemudian pada suatu ketika istri melarangnya untuk masuk ke rumah itu dan bukan karena hendak pindah rumah yang disediakan oleh suami.
3. Istri menolak ajakan suaminya untuk menetap di rumah yang disedikannya tanpa alasan yang pantas.
4. Apabila istri bepergian tanpa suami atau mahramnya walaupun perjalanan itu wajib seperti haji, karena perjalanan perempuan dengan tidak suami atau mahramnya termasuk maksiat.
Membimbing istri yang sedang nusyuz
Apabila istri telah kelihatan durhaka terhadap suaminya, hendaklah suaminya itu mengajarnya menurut aturan-aturan yang ditentukan dalam agama, di antaranya sebagai berikut :
1. Menegur dengan kata-kata yang sopan dan lemah lembut serta secara peri kemanusiaan. Hendaklah memperingatkannya agar ia taat karena hal itu adalah kewajiban seorang istri kepada suaminya, kecuali bila suami menyuruhnya melakukan suatu kejahatan, atau melarang berbuat kebajikan, umpamanya mendengarkan pelajaran-pelajaran dan lain-lain. Dalam hal seperti itu tidak wajib mengikuti suami.
2. Menghentikan memberi nafkah selama ia tidak mau berhenti dari kedurhakaannya.
3. Mengasingkan diri dari tempat tidur pada waktu tidur, bila dengan kata-kata atau dengan penghentian pemberian nafkah, tidak juga menghentikan kedurhakaannya.
4. Memberikan pukulan yang tidak membahayakan, bila dengan pelajaran yang tiga macam itu, ia tidak juga mengerti.
Sebgaimana firman Allah swt dalam surat Al-Nisa’ ayat 34:
                                       •     
34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

[289] Maksudnya: tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290] Maksudnya: Allah Telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[291] Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama Telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.

Dalam memukul,janganlah sampai melukai badannya, jauhilah muka dan tempat-tempat lain yang mengkhawatirkan, karena tujuan memukul bukanlah untuk menyakiti, tetapi untuk memberi pelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpukan bahwa durhaka istri (nusyuz) itu ada tiga tingkatan:
1. Ketika tampak tanda-tanda kedurhakaannya suami berhak memberi nasehat kepadanya.
2. Sesudah nyata kedurhakaannya, suami berhak untuk berpisah tidur dengannya.
3. Kalau dia masih durhaka maka suami berhak memukulnya.
Ibnu Hajar berkata, “Dalam sabda Nabi yang mengatakan: orang-orang baik di antara kamu secara garis besar memukul itu dibenarkan, dengan motif demi mendidik jika suami melihat ada sesuatu yang tidak benar yang seharusnya istri harus taat. Tetapi jika dirasa cukup dengan ancaman, maka itu adalah lebih baik.
Apapun yang mungkin dapat sampai kepada tujuan yang cukup dengan ucapan, tidak boleh beralih kepada suatu perbuatan. Sebab terjadinya suatu tindakan, bisa jadi menyebabkan kebencian yang justru bertentangan dengan prinsip bergaul yang baik yang selalu dituntut dalam kehidupan berumah tangga. Kecuali dalam hal yang bersangkutan dengan kemaksiatan kepada Allah.
Persoalan
Bagaimana hukumnya seorang suami berdiam diri atau tidak mau berbicara kepada istri yang sedang nusyuz, haram ataukah makruh?
Dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama: menurut Imam Syafi’i, tidak berbicara kepada istri yang sedang nusyuz hukumnya tidak haram ketika tidak lebih dari tiga hari, jika lebih dari tiga hari maka suami berdosa. Kedua: menurut Imam Rafi’i, jika suami tidak berbicara dengan istri secara tidak disengaja maka tidak haram, namun jika memang disengaja maka hukumnya haram. Ibnu Rif’ah berkata, “letak perbedaan pendapat haram atau tidak itu ketika di atas tiga hari, adapun dalam waktu tiga hari hukumnya tidak haram.” Imam Nawawi menegaskan bahwa yang benar secara pasti adalah haramnya tidak berbicara lebih dari tiga hari, sesuai dengan hadis Nabi :

Yang artinya, tidak halal bagi orang muslim berdiam diri kepada saudaranya selama lebih dari tiga hari.
Pengertian Syiqaq dan dasar hukumnya
Syiqaq berarti perselisihan. Menurut istilah fiqih berarti perselisihan suami istri yang diselesaikan dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.
Dasar hukumnya ialah firman Allah dalam surat Al-Nisa’ ayat 35:
                  •     
35. Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam[293] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
[293] Hakam ialah juru pendamai.
Surat al-Nisa’ ayat 35 tersebut merupakan kelanjutan dari ayat 34 yang menerangkan cara-cara suami memberikan pelajaran kepada istrinya yang melalaikan kewajibannya. Apabila cara yang diterangkan pada ayat 34 telah dilakukan, namun belum juga membawa hasil yang diharapkan dan perselisihan terus memuncak, maka suami hendaknya tidaklah tergesa-gesa menjatuhkan talak, melainkan mengangkat dua orang hakam yang bertindak sebagai juru pendamai.
Perkara Syiqaq di Indonesia
Demikian halnya para ahli fiqih, maka pada Peradilan Agama di Indonesia juga terdapat dua pendapat dalam masa syiqaq. Pendapat yang pertama yang banyak dianut (hakam dengan arti wakil), kemudian pendapat kedua yang banyak penganutnya (hakam dengan arti hakim), bahkan Mahkamah Tinggi Islam mengikuti kedua pendapat ini, dalam keputusannya 12 januari 1939 nomor 3, dan tanggal 10 Maret 1951 nomor 6.
Akan tetapi sampai sejauh ini belum saja diketahui sikap Mahkamah Tinggi Islam apabila hakam-hakam yang ditunjuk ternyata tidak sanggup lagi mengambil keputusan. Selanjutnya ini Pengadilan Agama (PA) Daerah Istimewa Yogyakarta dalam surat keputusannya tanggal 10 Juni 1961 nomor 489 memberikan keputusan perceraian terhadap perkara syiqaq apabila dua orang hakam yang diangkat tidak mampu memberikan suatu keputusan.
Dengan keputusan ini, mampu menghindarkan kemungkinan-kemungkinan berlarut-larutnya perkara dan kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi suami istri yang sedang bersengketa, dan tidak memperburuk keadaan.
Sesudah tidak ditemukan lagi seluruh usaha dan cara, maka di saat itu seorang suami diperkenankan memasuki jalan terakhir yang dibenarkan oleh Islam, sebagai suatu usaha memenuhi panggilan kenyataan dan menyambut panggilan darurat serta jalan untuk memecahkan problema yang tidak dapat diatasi kecuali dengan berpisah. Cara ini disebut thalaq/cerai.
Islam sekalipun memperkenankan memasuki cara ini, tetapi membencinya. Tidak mensunnatkan dan tidak menganggap satu hal yang baik. Bahkan Nabi sendiri mengatakan
Yang artinya, “Perbuatan halal yang teramat dibenci Allah, ialah Thalaq.” (Riwayat Abu Daud).
Hakamain, Arti dan Tugasnya
Hakam artinya juru damai, jadi hakamain adalah juru damai yang dikirim oleh dua belah pihak suami istri apabila terjadi perselisihan antara keduanya, tanpa diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah di antara kedua suami istri tersebut.
Sekaitan dengan permasalahan di atas, maka Allah memberikan penjelasan di dalam surat al-Nisa' ayat 35. Sebagaimana dipaparkan pada paragraph di atas mengenai perbedaan pendapat di kalangan Mahkamah Tinggi Islam di Indonesia, para ahli fiqih pun berbeda pendapat dalam arti hakam yang disebutkan dalam ayat 35 surat al-Nisa' di atas.
Menurut Imam Abu Hanifah, sebagai pengikut Imam Hambali, dan Qaul Qadim dari Imam Syafi'I, hakam itu berarti wakil. Sama halnya dengan wakil, maka hakam tidak boleh menjatuhkan talak kepada pihak istri sebelum mendapatkan persetujuan dari pihak suami. Begitu pula hakam dari pihak istri tidak boleh mengadakan khulu' sebelum mendapatkan persetujuan dari pihak istri.
Menurut Imam Malik, hakam itu sebagai hakim, sehingga boleh memberikan keputusan sesuai dengan pendapat keduanya tentang hubungan suami istri yahg sedang berselisih itu, apakah ia akan memberikan keputusan perceraian atau ia akan memerintahkan agar berdamai kembali.
Pendapat yang diusung oleh Imam Abu Hanifah, bahwasannya yang mengangkat hakam adalah pihak suami dan pihak istri, sebagaimana sebagaimana disebutkan dalam surat al-Nisa' ayat 35.
Sedangkan pendapat yang dirumuskan oleh Imam Malik, bahwa yang mengangkat hakam ialah hakim atau pemerintah, dengan alasan karena ayat di atas ditujukan kepada seluruh muslimin. Maka dalam hal perselisihan suami istri, urusan mereka diselesaikan oleh pemerintah atau oleh hakim yang telah diberi wewenang untuk mengadili perkara tersebut.
Menurut suatu ruwayat dari Imam Syafi'I, 'Pernah datang pasangan suami istri (pasutri) kepada Ali r.a. dan beserta mereka ada beberapa orang lainnya. Ali menyuruh mereka untuk megutus seorang hakim. Kemudian berkata kepada keduanya, "Kamu tentu tahu, apa yang wajib kamu lakukan. Apabila kamu berpendapat bahwa kamu dapat mendamaikan mereka, cobalah lakukan. Dan jika kamu berpendapat bahwa keduanya lebih baik bercerai, perbuatlah."
Perempuan itu berkata,"Aku suka berhukum dengan kitab (hukum) Allah, dengan sesuatu yang dipikulkan atas diriku (cerai atau tidak cerai aku terima)". Berkata pula suami itu,"Adapun soal perceraian aku tidak mau." Ali berkata, "Engkau dusta, demi Allah hingga engkau mengakui seperti apa yang diakui oleh istrimu."
Menyimak keterangan di atas, nyatalah bahwa hak perdamaian terletak di tangan hakim itu untuk bercerai ataupun tidak. Kedua suami istri harus menerima keputusannya. Sedapat mungkin hakim itu ialah ahli yang lebih akrab dan banyak mengetahui perhubungan keduanya. Kalau tidak ada, boleh juga ahli yang agak berjauhan sedikit asal mereka dapat dipercaya.

Penutup
Ada beberapa kata kunci yang bisa kita petik dari makalah ini untuk memahami Nusyuz, Syiqaq, dan fungsi hakamain dalam penyelesaian masalah :
Nusyuz berarti durhaka, maksudnya seorang isteri melakukan perbuatan yang menentang suami tanpa alasan yang dapat diterima oleh syara’. Ia tidak menaati suaminya,atau menolak diajak ke tempat tidurnya.
Ketika istri sedang durhaka (nusyuz), maka ada beberapa langkah yang boleh dilakukan suami terhadap istri yakni mulai dari menasehati, tidak memberi nafkah, pisah ranjang, hingga suami diperbolehkan memukul istri namun dengan pukulan yang tidak melukai dan dengan niatan memberikan pelajaran.
Syiqaq berarti perselisihan. Menurut istilah fiqih berarti perselisihan suami istri yang diselesaikan dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.
Ketika permasalahan yang dihadapi suami istri masih menemukan jalan buntu, maka perlu dihadirkan dua orang dari pihak suami maupun istri yang disebut hakamain. Bisa jadi kedua orang tersebut dari kalangan keluarga mereka dan boleh juga memang hakim yang diberikan wewenang pemerintah untuk bertugas sebagai penengah perkara yang tengah dihadapai oleh suami maupun istri, sebagaimana ada beberapa pendapat tentang arti hakamain dalam surat al-Nisa’ ayat 35 yang telah dijelaskan pada paragraph di atas.

Daftar Pustaka :
 Abidin, Selamet dan Aminuddin. Fiqih Munakahat. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
 Abi Bakr, Taqiyu al-Din Imam ibn Muhammad al-Husaini al-Hasni al-Damasyqi al-Syafi’I. Kifayatu al-Akhyar. Pekalongan: Maktabah wa mathba’ah Raja Murah, tt. juz 2.
 Mas’ud, Ibnu dan Zaenal abidin. Fiqih Madzhab Syafi’I. Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000.
 Qardhawi, Yusuf. Halal dan Haram. Bandung: Jabal, 2007, cet.1.
 Rasyid, Sulaiman. Fiqih Islam. Jakarta: Al-Tahiriyah, 1976.

1 komentar: