Minggu, 08 Maret 2009

MEMAKNAI THALIB AL-ILMI

Sedikit sekali para pelajar/mahasiswa yang mengerti akan arti seorang thalib(pencari) ilmu. Memaknai kata thalib dengan mengimplementasikannya sudah sulit ditemui dalam diri seorang pelajar/mahasiswa. Thalib dalam bahasa arab berarti pencari. Mencari tahu sesuatu yang belum diketahui. Menumbuhkan semangat keingintahuan agar selalu digelorakan dalam setiap saat. Karena thalib tidak sama arti dengan tilmidz. Kalau tilmidz berarti siswa. Siswa memiliki cirri yang khas yaitu selalu diberi pelajaran dan diarahkan tidak disuruh untuk mencari tahu sendiri. Namun dewasa ini terjadilah penggersangan rasa keingintahuan seorang pelajar/mahasiswa terhadap kajian-kajian keilmuan. Apa yang menjadi kewajiban dan larangannya hampir terlupakan atau mungkin memang tidak tahu sama sekali. Sebenarnya ada banyak hal yang harus dimengerti agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat, sebagaimana dijelaskan oleh syaikh Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim yaitu :
1. Dzaka’ artinya pandai, artinya orang yang mencari ilmu itu harus memiliki kecerdasan dalam arti yang luas. Artinya sanggup untuk berfikir kritis dan analitis. Dengan sering berlatih menganalisa kajadian-kejadian sekitar kemudian dikorelasikan dengan kajian keilmuan. Apa yang telah kita pelajari sehari-hari perlu direalisasikan dalam sebuah tindakan yang berfaidah agar semua ilmu yang kita dapat bisa melekat dalam jiwa. Meskipun kelihatan sepele, namun memiliki manfaat yang luar biasa. Kita secara berangsur memiliki kekuatan berfikir yang analitis. Bertindak dari yang paling kecil dan banyak pasti akan membuahkan hasil yang banyak juga dari pada berbuat yang besar namun hanya sekali dan hasilnya pun belum tentu maksimal karena kurangnya experience (pengalaman). Apabila orang telah terbiasa dengan latihan-latihan seperti di atas tentu akan memperoleh apa yang dinamakan dzaka’ tersebut.
2. Hirsh artinya selalu lapar, lapar akan ilmu pengetahuan. Lapar yang seperti ini tidak sering dirasakan oleh setiap orang. Kalau perut selalu kenyang biasanya tidak lapar akan ilmu, malas berfikir, ngantuk, dan menumbuhkan hasrat birahi yang besar. Kalau pikiran sudah dikuasai oleh nafsu, akalpun akan kalah. Kalau orang sudah dijajah dengan kenakalan hawa nafsu, maka tak heran jika orang tersebut menjadi bodoh yang akhirnya selalu diperbudak oleh nafsu setan. Oleh karenanya kurangilah makan kalau ingin menang melawan hawa nafsu. Sehingga haus akan ilmu pun selalu datang setiap saat. Lapar akan ilmu pengetahuan adalah lambang menjadi orang yang bijak dan cerdas.
3. Ishthibar adalah sabar. Tidak hanya mencari ilmu yang memerlukan kesabaran, bahkan dalam bentuk apapun sabar itu menjadi nomor satu. Orang yang sabar selalu bisa menguasai diri dan tidak tergesa-gesa dalam bertindak. Ilmu itu tidak seperti pekerjaan yang asal selesai dikerjakan. Ilmu adalah barang istemewa laksana mutiara yang mahal harganya. Dimanapun keberadaannya pasti akan dicari meskipun bercampur kotoran sekalipun. Memang tidak mudah memiliki watak yang sabar. Sabar disini identik dengan ketekunan. Telah banyak bukti kegagalan seseorang dikarenakan tidak memiliki kesabaran dan ketekunan. Jangan sampai hati ini terusik dengan rayuan setan yang menyesatkan. Termasuk salah satu ciri orang yang sudah tergoda setan adalah hilangnya kesabaran dalam jiwa. Oleh karena itu biasakanlah dengan berdzikir kepada Allah agar senantiasa selalu ingat kepada-Nya dan bersabar terhadap semua rintangan yang dihadapi. Karena kesabaran itu yang akan menghantarkan seseorang menduduki derajat yang tinggi.
4. Bulghat adalah saku. Tidak bisa dipungkiri materi juga dibutuhkan dalam rangka mencari ilmu. Namun jangan langsung menyerah karena materi itu bukan segala-galanya. Kalau ada kemauan pasti ada jalan (if there is a will there is a way) itulah pepatah pendahulu kita yang telah berhasil. Tidak sedikit para tokoh pada saat mengabdi menjadi santri hanya berbekal doa dari kedua orang tuanya, namun karena kegigihannya sehingga mereka bisa menjadi orang besar. Dalam budaya pesantren salaf ada istilah tirakat yang artinya meninggalkan dari sesuatu yang berlebihan. Tak heran para santri dahulu terbiasa dengan puasa senin-kamis, dan mengurangi makan. Kalau ditinjau dari ilmu medis tidak masuk akal orang yang kurang mengkonsumsi gizi dapat memiliki otak yang cerdas, tapi itulah kenyataannya yang tidak bisa dipungkiri mereka yang hanya makan dengan lauk yang sangat sederhana bahkan makan ikan pun bisa dihitung namun mampu menyaingi anak jenderal/konglomerat dalam tataran ilmu sosial, politik dan wawasan kbangsaan seperti sekarang ini.
5. Irsyadu ustadzin adalah petunjuk guru. Sepandai-pandainya orang pasti tak lepas dari guru, bahkan ada pendapat yang lebih keras lagi, “orang yang belajar tanpa guru, maka gurunya adalah setan”. Terlepas dari pendapat tersebut, nasehat atau petunjuk guru sangat membantu dalam mengawal kesuksesan seseorang. Seperti nabi Muhammad sendiri pun diajari oleh malaikat Jibril sebagai pengantar wahyu yaitu perintah untuk membaca (iqra’). Janganlah bosan dan enggan untuk meminta petunjuk ataupun saran kepada orang yang dianggap membidangi pada pokok permasalahan. “(fas’alu ahla al-dzikri inkuntum la ta’lamun)”, petikan ayat al-Qur’an ini memberikan pengertian bahwa adanya perintah untuk bertanya kepada orang yang mengerti jika tidak tahu. Betapa pentingnya bertanya atau meminta petunjuk jika tidak ingin tersesat di jalan.
6. Thulu zaman yaitu butuh waktu lama. Berapa lama masa yang diperlukan itu relative tergantung usahanya masing-masing. Bahkan mencari ilmu itu tiada batas waktunya mulai dari buaian sang ibu sampai ke liang lahat. Pastinya kalau ingin memahami sesuatu harus giat dan mesti butuh waktu yang lama juga. Menela’ah satu persatu dari bab yang paling awal sehingga bab yang paling akhir. Tidak ada gunanya mempelajari sesuatu hanya sepenggal-sepenggal akibatnya mentah dan tidak mampu memahami persoalan.

Jakarta, 27 Desember 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar